Seven Samurai Islam

Suatu masa feodalisme Jepang, kemungkaran merajalela tanpa kendali pemerintahan pusat. Jepang pecah ke dalam berbagai fraksi di bawah kekuasaan keluarga-keluarga militer beserta para vasalnya. Negeri kepulauan kembali diperebutkan kelompok-kelompok bersenjata yang memuncratkan darah, peperangan dan aksi balas dendam mengerikan.

Masyarakat feudal Jepang dibagi ke dalam beberapa kelas sosial. Di puncak piramida adalah penguasa militer, para samurai, dengan pucuknya para daimyo (bupati militer), yang kata kata darinya praktis merupakan hukum bagi seluruh aspek kehidupan. Mereka hidup di kastil-kastil serta benteng-benteng kota. 

Petani yang sangat penting bagi keberlangsungan kelas samurai menempati posisi kedua sekaligus paling diperas dan diregulasi. Setelahnya kelompok pedagang atau pengusaha dan pengrajin atau seniman. Tugas pokok kelompok petani adalah memastikan ketersediaan pangan sekaligus siap diperas berbagai pajak yang mencekik.

Para daimyo (bupati militer) berebut pengaruh, wilayah kekuasaan, privilese dari Kaisar Jepang, dan hak sebagai primat yaitu penguasa militer tertinggi atau shogun. Wilayah kekuasaan terkait berapa total produksi beras yang bisa dihasilkan karena inilah yang menjaga kesetiaan para samurai terhadap daimyo, dan daimyo terhadap shogun.

Boleh dibilang, Jepang adalah masyarakat feudal demi para samurai. Ketaatan petani dan kelompok pedagang atau pengusaha pada samurai dibuat begitu sakral. Membantah tabu, sama dengan menyenggol kata kata suci. Salah-salah, hukuman pancung seketika!

The Seven Samurai (1954), film klasik karya Akira Kurosawa, ditempatkan dalam konteks feodalisme Jepang di atas. Di desa-desa, apalagi yang terpencil jauh dari kontrol kekuasaan samurai, penduduk hidup dalam teror derap kuda para bandit yang memanfaatkan kekacauan dan ketiadaan hukum. Mereka menderap kuda-kuda, memasuki desa dengan angkuh dan menuntut upeti serta hanya menyisakan sedikit sekadar supaya para petani bisa bertahan hingga penjarahan berikutnya.

Betul sekali, apa yang kamu bayangkan tidak salah. Ini seperti film Hollywood yang sedang naik daun the Magnificent Seven. The Seven Samurai adalah ‘nenek moyang’ film-film berikutnya, mulai sejak versi pertamanya tahun 1960 hingga versi 2016 yang dibintangi Denzel Washington tersebut. Berbagai unsurnya sama: petani/masyarakat tertindas, bandit-bandit/kemungkaran menjarah dan orang-orang berilmu berhati seluas samudra yang siap bertarung demi keadilan dan kemanusiaan. 

Yang sangat menarik dalam the Seven Samurai adalah bahwa petani menyewa samurai. Hal ini tidak terbayangkan sama sekali. Kita tahu bahwa kelompok petani tidak lebih dari sapi perahan kelas samurai. Dalam film the Magnificent Seven, tidak aneh bila petani menyewa koboi karena kelas sosial di antara mereka tidak ketat terstruktur. Maka salah satu adegan paling terkenal dalam the Seven Samurai (dan dikopi dengan modifikasi dalam the Magnificent Seven) adalah kata kata ‘siapa yang pernah mendengar petani mempekerjakan samurai?’

Seberapa penting Akira Kurosawa bagi sinematografi barat adalah bahwa bahasa sinemanya banyak dikagumi sineas Hollywood dan mengilhami seperti Yujimbo yang jelas-jelas di-remake dalam the Last Man Standing. Atau kalau anda penggemar Star Wars, anda harusnya sadar bahwa pendekar Jedi menyabet ala samurai karena George Lucas adalah penggemar berat Akira Kurosawa.

Tujuh samurai sebenarnya melakukan pemberontakan terhadap kelompoknya dan terhadap keseluruhan sistem masyarakat yang ketat dikontrol demi keuntungan dan privilese kelas samurai. Tindakan mereka melanggar setiap atom imaginasi, menabrak rupa-rupa tabo kesakralan relasi sosial, sebuah ‘pengkhianatan’ terhadap kata kata suci dan pola pikir religius yang sudah dibakukan atau dipaksabakukan.

Secara normatif, tugas para samurai adalah melindungi para petani. Dalam prakteknya, samurai memeras dan mengontrol petani. Maka sebenarnya yang dilakukan tujuh samurai adalah mengembalikan marwah samurai, sebuah pertanggungjawaban dalam rangka menegakkan keadilan dan kemanusian.


Sekat-sekat sosial justru sebuah lelucon, anomali sosial yang harus dihancurkan, diruntuhkan, karena secara eksplisit melanggar hal terpenting dalam kehidupan bersama: kebenaran dan bahwa di hadapan kebenaran, setiap orang sama derajatnya.

Saya sudah menonton the Seven Samurai berkali-kali dan tidak pernah bosan. Waktu saya melakukan riset tesis saya di Asian Research Insitute (ARI), National University of Singapura (NUS), Singapura, saya menemukan lebih banyak lagi kaitan sinematografi Jepang dan sejumlah sineas Hollywood. Sineas Cina juga sudah membuat berbagai versi, tentu saja tujuh jagoannya adalah petarung kungfu. 

Semalam saya menonton lagi the Seven Samurai. Dan tanpa diduga, saya diajak memungut sebuah metafora menakjubkan. Pikiran saya seakan mengelana ke dalam ruang batin manusia-manusia Indonesia, menelaah berbagai aspek serupa dengan berbagai isu khususnya yang paling menguras energi kolektif bangsa yakni kontroversi kasus Ahok, dan mendengarkan suara-suara terbening dalam keriuhan pihak-pihak pengklaim kesucian.

Sebelumnya, kita telah temukan bersama tiga unsur pokok yang membangun sinematografi the Seven Samurai: petani tertindas, kawanan bandit dan tujuh samurai kosen yang siap melampaui sekat-sekat sosial demi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan bagi semua. Penting saya ingatkan kembali karena saya tidak ingin terjadi kesalahpahaman antara saya dengan anda. Buang jauh-jauh pikiran itu. Jangan sekali pun anda mengira bahwa saya hendak menyebut Ahok sang samurai atau orang Islam sang petani miskin. Terpikir pun tidak. 

Saya sedang membicarakan orang-orang Islam kosen, petarung-petarung sejati di jalan Allah yang sangat saya kagumi oleh keberanian dan derajad kemanusiaannya. Di tengah privilese yang mereka nikmati sebagai bagian dari mayoritas dan menduduki berbagai posisi strategis, mereka tak abai mengingat bahwa bersikap adil adalah paling dekat dengan ketaqwaan. Mereka paham sungguh bahwa dia yang telah mengalahkan ego telah memasuki hakekat ilmu dan kebenaran.

Dalam kontroversi kasus Ahok yang jelas politisasi dan sarat politicking ini, seolah orang Kristen secara masif menindas orang Islam, tampaklah watak sesungguhnya sejumlah orang. Entah sejuta kali seseorang mengklaim saleh, santun dan paling benar, kita pasti bisa menimbang-nimbang bobot kebenaran kata kata dia berdasarkan cara komunikasi, fakta dan realitas sosial politik. 

Publik bukan bodoh, kita mengamati dan mengevaluasi. Kita pasti menyadari betapa intimidasi, labelling non-Islam adalah kafir, boikot, pembunuhan karakter, discredit, bahkan ancaman hingga tindakan fisik termasuk berbagai tindakan yang secara religius sangat meneror seperti ancaman tidak disholatin, masif dilancarkan.

Begitupun, kalau melihat maraknya berbagai spanduk yang terang-terangan menista Ahok dan semua non-Muslim pukul rata, mengancam keselamatan pendukung calon petahana dan Djarot, dan terang-terangan menyumpahi gereja, orang Kristen berikut setiap non-Muslim bahkan bangsa serta negara ini, publik jelas bisa membaca situasinya dengan sejelas-jelasnya.

Bagaimana seseorang meresponnya, itulah aslinya dia. Dan begitulah, heroisme yang tumbuh dari pertarungan mengalahkan ego pribadi dimulai sudah.

Malam tadi, saya disadarkan akan kedalaman batin yang dalam ilmu psikologi kami sebut self-actualizer yaitu mereka yang telah mencapai taraf aktualisasi diri tanpa batas. Hidup dan karya mereka ditandai dengan nilai-nilai kemanusiaan terdalam seperti kebenaran dan keadilan. Mereka siap mengambil risiko karena satu-satunya yang menakutkan adalah Allah dan pengkhianatan terhadap kebenaran.

Pikiran saya lalu mencoba menyusun the Seven Samurai Islam Indonesia. Mereka yang muncul, dengan beragam alasan, adalah: Mbah Moen, Buya Maarif, Agil Siradj, Yeni Wahid, Gus Mus, Gus Nuril dan Gus Ishom.

Ini memang daftar pribadiku, anda boleh punya sendiri. Sesungguhnya saya memikirkan lebih dari tujuh. Dan satu hal teristimewa, pikiranku rupanya mengelana ke dalam ruh Islam di Nusantara: Nadhatul Ulama (NU).

Saya tidak ragu bahwa mereka tujuh Islam NU telah mencapai maqam, kedudukan, sebagai manusia-manusia mulia. Keteguhan mereka menyatakan kebenaran meneguhkan kemuliaan Islam yang sudah kukenal sejak kecil.

Rudy Ronald Sianturi (082-135-424-879)

Artikel-Artikel Populer

Membunuh Allah dengan e-KTP Plastik
Kata Mutiara Islam Edhi Pakistan
Djarot Teman Ahok
Sholat dan Iqra Kata Kata
Iriani Perempuan Jokowi, Vero Perempuan Ahok
Robohnya Surau Kami Akibat Doyan Beragama

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Seven Samurai Islam "

Post a Comment