Kata Cinta Nenek Tua

Nenek tua membungkuk. Kepalanya tenggelam ke dalam bak sampah. Aku tertarik. Sarung tua sudah keriput seperti kulit lengannya. Ada beberapa bolong kecil tanpa malu menampakkan diri. Aku penasaran. Ada gelambir tipis di lengan atas sebelah bawah, turun mengkerut seperti kusutnya baju belum disetrika. Rambutnya putih keperakan dengan garis-garis kepala jelas terlihat bagai jalan-jalan tikus yang lama disepelekan pelintas. Aku mendekat. Kaos lusuh membungkus badan atas. Terbaca dari belakang, dekat tulang leher beruas-ruas kekeringan, ada huruf-huruf kumal, sebagian sudah copot: K A T…C I N T… Katakan cinta atau kata cinta?

Nenek tua mengangkat kepalanya. Di tangannya ada beberapa kertas - merah putih – dan sepotong kardus. Aku terpesona. Wajah dia cantik dan masih terlihat ayu. Seperti masuki lorong waktu, aku spontan membayangkan masa mudanya. Aku hendak tersenyum tapi didahului beliau. Senyum memancar lurus ke arahku. Dalam terpana, aku melihat kata cinta dalam senyum polos tiada kepalsuan. Aku balas dengan sopan, sedikit malu seperti tertangkap basah mengintip. 

Nenek tua mengulurkan kedua tangan ke arahku. Wajahnya menyirat kata kata tak terucap. Aku sedikit kelagapan, tidak pasti maksudnya. Tetapi kuraih juga kertas warna merah putih dan sepotong kardus itu. Aku harap aku tidak keliru menafsirkan gerakan dia ini. Dia kembali tersenyum, cantik. Kubayangkan di masa mudanya, senyum ini pasti menimbulkan rasa sayang. Entah berapa lelaki yang terpelanting dari lamunannya kala melintas ia dengan kerling. Entah berapa surat berisi kata cinta yang harus dia buka amplopnya saban hari. Atau jangan-jangan kecelakaan karambol pernah terjadi karena orang-orang temasuk polisi peduli satu hal saja – senyum dia.


Nenek tua mengeluarkan sesuatu dari balik gulungan sarungnya. Aku penasaran, apa lagi ulah manusia ini. Sisir! Di bawah terik matahari, tepat di samping bak sampah, dia melepas gulungan rambutnya dan mulai menyisir. Gerakan tangannya gemulai, benar-benar terlatih. Pasangannya pasti timbul rasa sayang tiap kali melihat ini. Kulihat panjang rambutnya hingga mencapai pinggul. Banyak menipis tapi menyisakan kemolekan masa muda. Aku makin sadar, beliau sama sekali tidak kotor. Bajunya bukan compang-camping. Bajunya hanya tua dan lusuh. Badannya tidak bau. Badannya bersih dalam keriput-keriput. Dia membelakangi aku, bahasa tubuh perempuan umumnya. Dan diam-diam aku putuskan, dia adalah orang paling menarik sesiang panas itu.

Nenek tua berbalik, kini menghadap aku. Aku perhatikan garis-garis senyum dia sangat kentara di wajah yang sudah menipis. Hidung bangir sedikit memerah. Nafasnya agak terburu, tubuh renta tidak bisa dibohongi. Tetapi seluruh dirinya hadir di hadapanku dengan percaya diri. Rasa sayang dalam diriku makin besar. Teringat nenek aku yang hanya sempat kutemui setelah aku besar. Tergambar dia duduk di teras belakang rumah, di depan kami sawah membentang dan gemiricik air mengalir lembut. Sambil mengunyah pinang, memerahkan bibir cantiknya, dia memandang aku dengan rasa sayang mendalam - persis nenek tua ini.

Nenek tua mengulurkan kedua tangan ke arahku lagi. Kembali wajahnya menyirat kata kata tak terucap. Tanpa ragu, aku tahu maksudnya. Dia meminta kembali kertas merah putih dan sepotong kardus yang kupegang dengan setia. Dengan tekun, ia meluruskan kertas-kertas itu, membuatnya rapi bertumpuk sehingga jadi satu. Dia melipat kardus tersebut sebanyak dua kali sehingga menjadi seukuran kertas yang diselipkannya ke dalam. Semuanya rapi sekarang, dia terkesan seorang guru besar yang hendak pergi mengajar. Masih belum ada kata kata apapun yang keluar dari mulutnya. Entah mengapa juga, aku tidak berkata sedikitpun. Aku hanya mengikuti gerak-geriknya serta berusaha menyamai ketulusan yang memancar deras ke arahnya – dalam hening.

Nenek tua bergerak pelan sebelum aku sempat memutuskan mau bilang apa. Pinggulnya melenggok, lengannya mengapit kertas merah putih dalam kardus. Aku terkesima, bingung dengan kejadian ini. Apakah hanya mimpi? Apakah nyata atau imaginasiku belaka?

Nenek tua kian menjauh. Aku berharap dia berpaling sekedar menjelaskan makna pertemuan siang bolong ini. Hanya kata kata tak terucap menjawabku. Tampak di punggungnya huruf-huruf kumal yang sebagian sudah copot: K A T…C I N T…

Katakan cinta atau kata cinta?


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kata Cinta Nenek Tua"

Post a Comment