Bunda Teresa Cinta Neraka
Aku haus kata yang
satu. Aku lapar, kata yang lain. Aku kesepian, kata yang satu. Aku ketakutan,
kata yang lain. Aku datang, jawab bunda Teresa.
Katanya bukan karena cinta lenyap dari dunia meski ratusan orang ditelantarkan di sepanjang emperan-emperan Kalkuta, India. Katanya karena ratusan orang memang harus diletakkan di tepi-tepi jalan bersama abu dan busuk kota. Ribuan orang yang melewati mereka tampak tergopoh-gopoh takut tertular karma buruk dari kaum terbuang ini. Fasilitas rumah sakit sangat terbatas. Setiap pasien yang sudah tidak punya harapan sembuh lagi dicampakkan keluar tanpa ampun demi mereka yang dianggap lebih layak hidup. Surga dan neraka, hidup dan mati, entah menurut timbangan siapa.
Katanya bukan karena cinta lenyap dari dunia meski ratusan orang ditelantarkan di sepanjang emperan-emperan Kalkuta, India. Katanya karena ratusan orang memang harus diletakkan di tepi-tepi jalan bersama abu dan busuk kota. Ribuan orang yang melewati mereka tampak tergopoh-gopoh takut tertular karma buruk dari kaum terbuang ini. Fasilitas rumah sakit sangat terbatas. Setiap pasien yang sudah tidak punya harapan sembuh lagi dicampakkan keluar tanpa ampun demi mereka yang dianggap lebih layak hidup. Surga dan neraka, hidup dan mati, entah menurut timbangan siapa.
Baju lusuh, tercabik,
membungkus tubuh-tubuh ringkih tanda daya. Suara tidak mampu keluar dari mulut.
Hanya dengan mata mereka berbicara. Mohon ‘cinta terakhir’ supaya dilepaskan
dari neraka dunia, supaya dilontarkan ke surga selekasnya. Mereka yang dilemparkan
ke dalam tong-tong sampah, bercampur dengan makanan basi dan plastik kota, menangis
dalam kegelapan. Hanya hening mencengkram dalam hidup kebisingan kota. Mereka hanya
perlu satu hal: mati.
Kalkuta, India, adalah dunia
tahun 1946 yang berantakan dan jauh dari gambaran surga. Jutaan orang memadati
kota yang belum keluar dari penghisapan penjajahan Inggris. Kekejaman bule-bule
Kristen ini memang mencengangkan. Apa yang tidak diangkut demi kemegahan
kerajaan angkuh di Eropa ini. India diturunkan derajadnya hingga ke tingkat
penghamba, penyembah, bagi tuan-tuan pirang yang menjustifikasi keserahannya bahwa
sebagai 'kaum beradab', mereka terbebani memimpin 'kaum barbar'.
Nilai terjungkal, logika
terjungkir. Inggris mengklaim kalau mereka datang atas nama cinta yang hendak 'memimpin' orang India
keluar dari kegelapan jiwa. Dan karena itu, mereka layak diganjar dengan
privilese mengeksploitasi suatu bangsa -yang jauh lebih megah dan mendahului
Inggris dalam sejarah dan ilmu pengetahuannya- hingga ke tingkat hewani.
Cinta Inggris rupanya tak ada bedanya
dengan neraka. Kehadiran mereka hanya menghadirkan kertak gigi dan pilu rintihan.
Dunia berpusing di Stasiun Kalkuta dengan cepat - 10 September
1946. Lokomotif dengan berat hati keluar dari peron. Dengan garang, ia menumpahkan
asap tebal sepanjang rel menuju Darjeeling, sebuah wilayah pegunungan Himalaya
rendah di perbatasan India dengan Sikkim, Bhutan serta Nepal. Lereng-lerengnya
indah dengan kehijauan daun-daun teh, kontras dengan hitam legam buruh-buruh
budak yang dipekerjakan menuai pucuk-pucuk muda. Sebagai salah satu primadona
ekspor pemerintah kolonial Inggris, wangi teh Darjeeling tersohor ke seluruh
dunia.
Kereta terus menyibak jalan menyeret ribuan orang India bersamanya.
Di sebuah gerbong, ada pemandangan menarik. Seorang wanita berhijab, Eropa, duduk tenang. Tubuhnya mungil, matanya menyorot tajam dalam kelembutan menatap. Dia seorang biarawati Katolik yang berasal dari negeri asing nan jauh – Skopje, Republik Makedonia. Namanya Agnes Gonxha Bojaxhiu (Gonxha berarti ‘kuncup mawar’ atau ‘bunga kecil’ dalam bahasa Albania). Belakangan ia dikenal sebagai bunda Teresa. Sehari-hari ia tinggal di biara Loreto, Entally, timur Kalkuta, sebagai kepala sekolah dan guru yang sangat dicintai murid-muridnya. Dari balik jendela kelas di tingkat atas, dia kerap melihat orang India miskin mati sikut-menyikut di neraka dunia ciptaan kolonial, tepat di seberang gerbang biaranya.
Sebelum menempuh
perjalanan dalam rangka retret tahunan di biara Loreta Darjeeling ini, bunda Teresa mengalami banyak pergolakan. Dalam doa-doa hening
bersama Allah, hati tercurah kepada sang Kekasih Ilahi yang sangat dicintainya.
Kedatangannya ke India 1929 karena mengikuti dorongan ingin menjadi misionaris.
Selama hampir 20 tahun, praktis semua yang ia impikan telah diraih
dengan lancar. Dia sudah hidup aman dan nyaman dalam lindungan tembok biara. Namun
kelaparan yang menimpa Benggala tahun 1943 dan pertikaian antara Islam-Hindu
Agustus 1946, melukai batinnya dan merisaukan pikirannya: apa yang sesungguhnya
dikehendaki Tuhan dari hidupnya?
Dia memandang ke luar
jendela kereta. Hatinya bergolak, entah apa. Riuh kereta api tenggelam dalam
gemuruh keheningan, kesenyapan doa. Hanya ada bunda Teresa dan Tuhan. Hanya
keintiman hening bersama Tuhan menghibur hati. Apa yang sesungguhnya
dikehendaki Allah dari diriku?
Seperti guntur siang bolong, sebuah suara, sejelas telinganya menangkap, bicara dalam jawaban kepadanya. Suara itu memintanya melakukan sesuatu buatnya. Ia diminta keluar dari zona nyaman biara, berhenti hanya memandang neraka dunia, dan membawa pesan sang empunya suara bagi manusia-manusia India. Suara itu menuntut Teresa bertemu langsung dengan dirinya.
Seperti guntur siang bolong, sebuah suara, sejelas telinganya menangkap, bicara dalam jawaban kepadanya. Suara itu memintanya melakukan sesuatu buatnya. Ia diminta keluar dari zona nyaman biara, berhenti hanya memandang neraka dunia, dan membawa pesan sang empunya suara bagi manusia-manusia India. Suara itu menuntut Teresa bertemu langsung dengan dirinya.
“Dengan cara apa saya
bertemu dirimu, Tuhan?” tanya Teresa yang meyakini bahwa suara itu adalah Allah
sendiri yang berbicara padanya.
“Aku adalah orang-orang
emperan yang haus dan lapar. Aku adalah orang-orang kesepian bagai takut patung kematian di tepian
sungai kehitaman oleh jelaga kota. Aku adalah tangisan dan rintihan dalam tong-tong
sampah di sekujur negeri. Aku itu yang memandang kamu dari neraka dunia. Aku
hidup namun terdampar dalam kematian dunia. Maukah kamu bertemu dengan Aku?”
Suster mungil ini terpaku
dalam kesenyapan. Lokomotif berdentum-dentum. Beberapa bebatuan kecil melayang karena
tergencet laju roda-roda baja kereta. Hatinya membulatkan tekad. Tiada sanggup
ia menolak jawaban Tuhan atas pertanyaannya. Ia bersedia – sepenuh hatinya.
Kereta menuntaskan laju, Allah membacakan puisi cinta kepada orang-orang paling tersingkir.
Teresa jatuh cinta pada neraka dunia di Kalkuta – demi bertemu Allah yang hidup.
Tenun & Batik Rose'S Papua
Pemesanan:
082-135-424-879/LINE
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi
Teresa jatuh cinta pada neraka dunia di Kalkuta – demi bertemu Allah yang hidup.
Tenun & Batik Rose'S Papua
Pemesanan:
082-135-424-879/LINE
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi
0 Response to "Bunda Teresa Cinta Neraka"
Post a Comment