Ahok Adalah Durian Words

Bangsa Indonesia memang bebal! Bagaimana tidak? Bangsa yang punya apa saja untuk besar namun belum jua besar-besar. Bahkan seringkali bersikap pecundang. Apalagi kalau sudah berhadapan dengan orang bule, macam takut-takut memalukan begitu. 

Adalah sebuah kerinduan bahwa bangsa ini berani mewujudkan takdirnya sebagai bangsa besar.

Yang diperlukan adalah perubahan pola berpikir dan bertindak secara total. Dan ini berkaitan dengan Ahok dan durian – durian words.

Sejak belasan tahun silam, saya beberapa kali menyaksikan bagaimana orang Indonesia manggut-manggut memamah kata kata orang asing seakan firman Tuhan saja. Saya lihat sendiri dalam berbagai komunitas atau forum internasional yang pernah saya ikuti. Tentu saja tidak semua orang Indonesia seperti begini, tetap banyak yang bersikap wajar di hadapan orang asing.  Namun kalau sikap ini sebuah kecenderungan termasuk diplomat dan akademisi, mesti ada yang salah. Tidak bisa dibiarkan!

Pernah saya menjadi peserta sebuah seminar internasional di Singapura bertema film di Asia. Pesertanya datang dari berbagai penjuru dunia termasuk banyak orang Eropa. Seorang peneliti dari Belanda  membawakan makalah tentang film Indonesia era 80/90-an. Seraya memutar beberapa video klip, sang presenter memberi kata komentar miring tentang daya pikir dan kreasi orang Indonesia. Ratusan partisipan kompak tertawa dan sialnya, termasuk belasan peserta dari Indonesia yang notabene akademisi dan peneliti.

Jangan salah, saya tidak suka nonton film-film Indonesia seperti yang ia paparkan. Benar bahwa film-film kita sukanya mengumbar paha dan dada, sedangkan cerita dan alur asal-asalan.

M
asalahnya, sang presenter bersikap kurang senonoh sebagai akademisi. Ada kesan melecehkan, bukannya fokus pada analisis hasil-hasil penelitiannya. Seandainya ia sekadar bercanda atau mengurai absurditas dalam film-film tersebut, saya pasti turut tertawa bersama peserta lainnya. Sayang, ia seakan menyimpulkan bahwa orang Indonesia tidak bisa berpikir logis. “I’m not sure if they could think at all.” katanya. (Saya tidak tahu apakah mereka –orang-orang Indonesia- bisa berpikir atau tidak).


Begitu tiba sesi tanya-jawab, saya mengacungkan tangan. Saya mempertanyakan  sejumlah hal yang saya anggap ganjil dalam paparannya termasuk cara ia menggunakan landasan teoritiknya.

Saya juga menguraikan fakta historis bahwa pemerintah kolonial Belanda memewariskan pola penyensoran yang sangat rasis. Dengan asumsi bahwa orang Indonesia tidak mampu berpikir dengan cermat, dan dalam rangka mencegah pikiran subversif, film harus disensor dengan ketat.


Orde Baru mengambil alih ‘tehnik kontrol pikiran’ ini, belum kaum religius yang turut berperan dalam badan sensor. Alhasil ruang kreativitas yang tersisa hanya secuil. Film bukan estetika dan gagasan, namun bagaimana menjadi hiburan yang tidak berbahaya atau mengundang kecurigaan polisi.


Paha dan dada lebih menonjol daripada isi, sebuah konsekuensi logis yang tidak aneh.

Kata kata saya mendiamkan seisi ruangan, presenter terhenyak. Saya kalem memberikan sanggahan dan memang perlu. Dia mencoba menjawab namun sulit mempertahankan argumentasinya. Di tengah jalan, ia mengaku pusing dan akhirnya tidak bisa meneruskan uraiannya. Ia lengser keprabon, turun dari mimbar. Saya berusaha bersikap empatik dan meminta panitia memberinya obat pening.


Walaupun hadirin tegang, namun moderator dengan lincah mendinginkan suasana dan seminar internasional tersebut dilanjutkan hingga selesai. Toh ini forum ilmiah, biasa dalam dunia akademik, yang penting terkontrol dan argumentatif.

kata kata bijak, kata kata mutiara, kata kata cinta


Sejumlah teman dari berbagai negara menyalami saya. Saya ingat kata-kata mereka, “It’s so right that you argued about the way to talk about your own people. Foreign scholars sometimes believe they know the best about other countries.” (Sangat tepat kamu mengatakan pandanganmu tentang bagaimana menyoal bangsamu sendiri. Terkadang, peneliti asing percaya bahwa merekalah yang paling paham tentang negara-negara lain).

Saya paham benar yang mereka maksudkan. Saya pribadi punya segudang kritik terhadap bangsa dan negaraku tercinta. Tetapi soal harkat dan martabat negara ini, saya siap melawan arus bahkan ketika sang moderator sebenarnya supervisor saya sekaligus ketua panitia seminar. Saat itu, saya sedang dalam program riset paska sarjana di Asian Research Institute (ARI), National University of Singapore. Beliau orang Malaysia cantik, dosen di Kanada, yang juga sedang melakukan riset tentang film di ARI.

Ada kejadian lucu setelah insiden di atas. Sejak saat itu, saya dikenal sebagai Rudy the Durian Words (Rudy sang Kata Kulit Durian) - dalam artian positif. Teman-teman dari Asia Tenggara mendadak demam durian!

Di Indonesia ada satu orang yang jauh lebih garang daripada saya. Orangnya tegas dan tidak kompromi soal menjaga marwah Republik. Saya kelasnya biasa-biasa saja, beliau ini sudah level muak. Namanya Ahok.

Ahok adalah manusia durian super. Kata kata yang ia semburkan kadang menyengat seperti capit kalajengking, bikin orang terkencing-kencing. Kadang memang sudah kelewatan apalagi kalau matanya berbinar, bukan karena asmara, karena semangat dan marah. Terakhir kali saya dengar, ia sangat populer berkat jargon: pemahaman nenek loe!

Ahok paling benci uang rakyat ditilep. Tanpa segan, ia akan mencoret anggaran siluman. Kemarahannya menaik klimaks kalau PNS malas-malasan. Pecat sana, pecat sini. Cita-citanya bersama Djarot jelas, birokrasi yang professional, pro-aktif, etis dan bersih dari korupsi.

Kalau sekarang anda ke Jakarta ibarat nonton film Indonesia - kelas bermutu. Waktu saya ke sana beberapa bulan lalu, perubahan nyata di sejauh mata memandang. Saya sempatkan berkunjung ke Waduk Pluit dan melihat sendiri bagai sulapan betapa daerah yang dulunya kumuh sekarang sangat manusiawi. Anak-anak bermain bebas, sepatu roda, layang-layang, bola atau mobil-mobilan. Remaja asyik main futsal atau jogging sementara orang tua duduk bergerombol menikmati sore yang sejuk dengan pepohonan subur. Di dermaga kecil, beberapa perahu tertambat dimainkan sepoi angin sore. Macam film bukan?

Coba tengok juga Kalijodo, untuk menyebut secuplik kisah perubahan. Kalau dibuat dalam film pasti sangat menarik, semua unsur yang menjadi syarat film spektakuler sudah tersedia. Tinggal keberanian dan kreativitas mengubahnya ke dalam komposisi sinematik yang ciamik. Sebut saja, skenario akan mengisahkan bagaimana premanisme dan dehumanisasi perempuan disakralisasi dengan keagamaan membuta. Bisa menginspirasi sekuel film the Raid.

Bedanya, ini film realita bukan fantasi. Kalau sang peneliti Belanda di atas datang ke Jakarta sekarang, ia pasti terkejut melihat bahwa bangsa ini sesungguhnya sangat kreatif, cerdas, mampu disiplin dan punya visi luar biasa. Dan itu baru Jakarta, belum lagi di banyak daerah seperti Surabaya dan Bandung.

Ahok fenomenal, bahkan para pembencinya tahu. Hanya orang sakit ingatan yang tidak mengetahuinya. Dan itu wajar.

Jakarta dan perubahannya ibarat film, lebih daripada Jakarta semata. Kebanyakan orang merindukan perubahan, sebuah film realita tentang Indonesia.

Ahok tegas dan perlu tegas, tinggal lebih santun. Bila demikian, saya ingin supaya Ahok naik kelas. Jangan hanya kata kata durian, tanggung banget, sekalian landak! 

Rudy Ronald Sianturi (082-135-424-879)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ahok Adalah Durian Words "

Post a Comment