Samurai Jepang Terkapar Cinta Venus

Cinta,

Gelap, gerah, gemintang – adakah yang lebih lengang dari kesepian ini? Begini samurai Jepang berdiang di perapian dingin?

Di bawah sana, ada kota, di sebelah pantai Wonosari. Hanya lampu-lampu kendaraan yang berpendar seperti geliat semut-semut mungil bercahaya. Aku duduk di tepian pembatas. Resto ini di ujung tanah, menjorok dengan tumpuan tiang-tiang panjang yang menancap kokoh ke dalam bebukitan. Kulihat jalan-jalan besar seakan bentuk persegi panjang kurang sempurna. Perlu imaginasi. Lampu-lampu jalan hanya tersisa sekelumit terang. Dari tempatku mengamati, dalam hening resto, aku seakan ronin Jepang yang mempertanyakan kata kata romantis tergadai ini. Ada sepi, cakar-cakarnya mencengkram.

Semalam aku duduk di luar, sendirian -- cinta yang sakit hati. 

Aku mencari kejora suites di Wonosari, kamu masih ingat bukan? Aku ingin mencari bintang paling megah. Aku mengorek-ngorek langit. Samurai Jepang membongkar susunan surgawi dengan kibasan samurai. Bukan bohong, sekali lagi, demi kamu, Cinta.

Ia nama anak perempuan Yunani: Venus. Dia seorang perempuan luar biasa. Dia cantik, rupawan mengalahkan pupur terhalus. Kulitnya pualam mulus melebihi kesempurnaan alam. Saat kelahirannya, semesta menghentikan denyut dalam terpana.

Bapa yang awalnya membuka imagi langit untuk pikiran bocahku. Saat itu, bapa membawa pulang sebuah buku cerita tentang anak Jawa yang berlibur ke rumah pamannya di desa. Anak ini begitu terkesima dengan desa yang sama sekali tidak menyerupai kota asalnya. Tiada gedung, tiada polusi. Hanya ada suara-suara jangkrik dan kodok dalam temaram ribuan kerlip kunang-kunang. 

Dan ketika ia memandang langit, langit yang terhampar sejauh mata tanpa. Enak dipandang tanpa halangan optik karena polusi,  langit desa menyingkap banyak rahasia. Tanpa ampun, ia memberondong paman dengan pertanyaan ganti pertanyaan. Sang paman sampai terpontal-pontal harus memuaskan rasa ingin tahunya. Hingga suatu siang, paman membawa pulang sebuah buku luar biasa yang menjelaskan sekarung  ikwal alam semesta. 

Buku yang ia baca itu sekaligus bukunya. Maksudnya, buku yang bapa berikan padaku itu adalah buku tentang anak Jawa sedang membaca buku tentang alam semesta. (Kalau bingung, baca sampai tiga kali ya, pasti paham juga). Dan persis, bapa memberi buku ini kepadaku karena aku terlalu banyak tanya tentang alam semesta sampai beliau pusing! 

Aku ingat, aku dan bapa kerap duduk ngopi di keremangan malam, sesekali, mendongak ke langit. Bapa mengajarkan aku tentang rasi bintang, tentang cahaya dan laju kedatangan cahaya. Entah berapa banyak yang bisa kucerna. Yang jelas, ada satu perkataan yang kusimpan terus “Amang, kelak saat kamu sudah merantau, kala rindu engkau pada kami, carilah cahaya paling terang, kejora. Pastikan kamu mencari di dini hari, sebab Venus adalah kekasih sang fajar. Kita saling berkirim pesan ke sana.”

Sweetheart,

Aku merindukanmu, sangat – hari ini! Aku ingat kembali sekarung ikwal langit yang dianugerahkan bapa kepadaku dulu. Aku mengingat pesan indah untuk menemukan Venus. Entah sebuah kebetulan, aku kerap melihat dirimu sebagai sang Dewi terindah bagiku. Aku bukan hanya mencari yang terang, aku mencari engkau sayangku. Aku hendak menitip pesan ke sana agar engkau bisa membacanya di langit Merauke. 

Tapi minta ampun! Dasar kurang piknik. PLN mematikan lampu! Kota Wonosari redup, resto gelap. Dan langit belum jua bermurah hati memperlihatkan sang kejora. 


Sunyi, bahkan dari suara-suara jangkrik dan kodok bebukitan. Romantisme terkapar, nafas terengah-engah. Hanya lampu-lampu kendaraan di kejauhan. Semut-semut berlampu. Hampa, kosong makna. Ke mana aku harus mencari?

Aku ingat bapa secara tersamar telah mengisahkan hal ini. Manusia, katanya, adalah mahluk paling sepi di jagat. Ada milyaran bintang, ada kemungkinan banyak planet di tempat-tempat lain. Ia tetap belum menemukan, barangkali soal waktu. Begitupun, bila tiba masanya, apa ada kehidupan di sana? Bapa membuatku merenung, tak cukup kuat menerima rahasia ini. Tapi semalam itu, aku mengerti perkataan ini. 

Kamu kejora, sang satu-satunya cahaya langit untuk aku. Apa jadinya bila cahaya itu memudar bahkan sirna?

Aku tahu kesalahanku, Sayang. Aku telah meyakitimu dengan kata-kata itu. Tetapi pikirkanlah sekali lagi, aku hanya jujur dalam kegeramanku. Aku hanya tidak suka bahwa ada yang salah dalam kasus vaksin palsu. Aku sama sekali tidak mengatakan bahwa kamu dan teman-temanmu terlibat. Itu terlalu jauh, sayang. 

Aku prihatin bahwa sejumlah dokter (yang aku baca sendiri komen-komennya) tampaknya 'bermental kawanan' - mengingat mereka saat dilantik dulu berikrar setiap sejawat ibarat keluarga sendiri? Pembelaan menjadi tidak proporsional, terlalu demi kesetiaan korps dan menekankan bahwa tidak ada pengaruh dari vaksin palsu (sambil, minimal sebagian, menertawakan masyarakat non-medis).

Acara Mata Najwa semalam menyisakan cemohan (dari sejumlah dokter yang juga aku baca) terhadap istilah 'vaksinolog' yang dikemukan salah satu sumber. Memang agak ganjil kedengarannya. Mungkin maksudnya immunologist, yaitu pakar atau spesialis immunologi. Tetapi Sayang, aku sudah cek, ada kog istilah vaccinologist dalam bahasa Inggris. Jadi kenapa mereka tertawakan? Atau apa sebenarnya yang mereka perbincangkan? Mungkin juga aku salahpaham?

Intinya begini. Kalau dokter, klinik, rumah sakit yang memakai vaksin palsu, apalagi sampai bertahun-tahun, melanggar aturan penyediaan vaksin, ya salah!

Ini bukan masalah ada atau tidaknya efek dari vaksin palsu. Ini bukan masalah awam tahu istilah medis atau tentang medis atau membuat keluhan yang menggelikan secara medis!

Heran bukan, dokter sekolah tinggi-tinggi tapi kurang kepekaan?

Memang ada yang salah! Industri farmasi kita secara umum memang banyak mengandung lubang untuk pelanggaran dan kongkalikong dengan dunia medis! Beberapa bulan lalu sempat ramai diperbincangkan di media, misalnya. Siapapun tahu itu. Kata lain, kasus vaksin palsu harusnya jadi tamparan keras untuk setiap dokter yang rendah hati dan terutama yang merasa pintar.

Dan jelas, Kemenkes dan BPOM juga patut sekali disalahkan! 

Jangan bilang, dokter juga korban! Terburu buru sayang. Buktikan kalau sang dokter pengguna vaksin palsu itu sudah membeli dan mengimplementasikan vaksinasi sesuai kewajaran aturan dan praktik medis. Kalau jelas tidak, ya SALAH.

To hell with esprit de corps!

Aku juga hanya mengatakan yang kulihat sendiri. Aku lihat tiang-tiang rumah sakit tempat kamu mengabdi sudah keropos, seng yang membusuk dan timbunan sampah yang disembunyikan beberapa pojokan. Aku paham benar tentang kerja keras kamu sebagai perawat di situ. Aku tahu persis malam-malam jaga yang kamu habiskan penuh itikad dan komitmen. Kamu bahkan pernah bilang betapa sepi menahan mata sementara aku pulas merapal mimpi-mimpi.  

Kupikir kamu benar, Sayang, bahwa masalahnya tidak sesederhana itu. Barangkali ini malah persoalan akut di negeri kita. Pusat tidak begitu peduli dengan kondisi kesehatan di Papua. Hitam, keriting, bukan Jawa – apa perlunya diperhatikan. Apalagi kota secuil Merauke.

Kesampingkan sejenak perdebatan, Cinta. Tolong denganrkan saja kelengangan Samurai Jepang ini. Kamu mendiamkan aku, sudah tiga hari. Ada lorong panjang dalam benak ini: sempit, senyap, sendirian. Aku merasa seperti orang Papua yang ditinggal Republik. 

Aku ditinggal sang Venus - kamu…

Artikel Terkait:
Bahaya Laten Film-Film Cina?

Catatan:
Walah memakai sejumlah hal yang faktual, kisah ini sepenuhnya fiksi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Samurai Jepang Terkapar Cinta Venus"

Post a Comment