Galeri Foto Paling Menakutkan


Batak, Jawa, Cina
Kristen, Muslim, (mungkin) Buddhist

Apa yang salah dengan galeri foto ini? Jelas sekali salah karena kami bersahabat dan merasa nyaman satu kepada lainnya. Perhatikan bagaimana kami berdiri. Dalam hal zona kenyamanan, jarak fisik di antara kami berada dalam ‘wilayah intim’ yaitu di kisaran 45 cm. Padahal hanya pria keren di depan itu yang kukenal, selebihnya baru ketemu, baru salaman, pada hari foto ini diambil. Tetapi kami cepat beradaptasi setelah beberapa jam dalam suatu pelatihan. Dan ini kesalahan fatal, setidaknya  bagi sebagian orang yang menilai jejaring sosial secara sangat dogmatik.

Beberapa jam saja, sudah begitu? Malah kelamaan. Dalam lima menitpun, saya bisa merasa dekat dengan seseorang atau sebaliknya. Dorongan mendekati, bercakap, bertukar informasi, bukan barang mewah bahkan bagi orang yang paling pemalu. Sudah takdir manusia demikian sebagai mahluk sosial. Tinggal ketrampilan mengonversi dorongan menjadi tindakan sosial. Makanya kalau memberi training, pasti saya melakukan yang disebut ‘ice breaking’, seperti lewat permainan kecil untuk memecah rasa asing seraya mempromosikan dorongan bersosial.

Tetapi kan bukan murhim? Memang bukan, apalagi saya sama pria keren itu. Siapa juga yang mau sama dia? Jeruk dengan jeruk? Rugi, tahu! Intim tidak berarti sembarangan, pegang sana-sini, usil dan berpura-pura. Bahkan poinnya bukan soal murhim atau tidak. Ini soal apa yang mendekam di benak. Kalau sudah saru, kemungkinan otak ikut porno. Kalau dasarnya jejaring sosial yang bermartabat, dunia akan cerah dan menyenangkan buat dinikmati bersama – murhim atau bukan.

Tetapi foto ini tetap salah! Foto ini bahkan momok, menakutkan, sebab ia membuktikan bahwa kita baik-baik saja. Tidak bisa diterima! Foto ini mempermalukan ‘kebenaran ideologis’ yang dianut kelompok kita. Tidakkkkkk ...

Kadalin Bahasa, Kuasai Pertempuran

Kawan-kawan, mari makin keras teriak senjata kita yang tersohor dan ampuh: KAMU BUKAN AKU, KAMI BUKAN KALIAN. 

Caranya dengan meng-kadalin alat pembentuk kesadaran: bahasa. 

“kafir, Tuhannya tiga, penyembah patung, atheis kapitalis sekuler, mayoritas tapi dizolimi, minoritas tapi ngelunjak, Cina licik, Cina penjajah, kelakuan menjijikkan seperti babi, perusak tauhid, Buddhist pembasmi Muslim Rohingyah, angkat pedangmu membela agama…”

Itu sebagian dari bahasa yang dipakai untuk terus membelah publik ke dalam dua golongan: kita dan kalian. Pesan paling vulgar adalah bahwa kalian itu jahat, setan, iblis, laknat, sebuah proses yang dalam teori kritis disebut devilisasi. Devil asal katanya dan berarti setan atau iblis, sebuah representasi kejahatan atau ringkasnya ‘si jahat’. Apabila hal ini diulang-ulang terus, terutama dengan meramu kembali sebuah peristiwa sebagai bukti bahwa si jahat sedang beraksi, akan terbentuk persepsi bahwa kita bukan sedang berhadapan dengan manusia nyata tapi kejahatan itu sendiri. Pada taraf ini, dengan mudah sekali kalian kami basmi karena dalam pandangan kami, kalian itu abstrak, sekadar representasi semua yang gelap dan neraka. 

Lenyap sudah dorongan bersosial. Gantinya dorongan menghancurkan tanpa rasa salah. Apalagi bila sudah dengan bumbu sejumlah ayat, timbul misi suci melawan musuh-musuh Allah. Bukankah Allah lawannya Devil?

Jangan kuatirkan apa juga. Lakukan saja, begitu tujuan dari proyek ini. Semua orang yang pernah melihat kadal tersudut kucing di pojokan dinding pasti tahu kalau sang kadal bakal beringas. Hukum alam. Kalau tidak ingin diganggu, jangan mengganggu. Tidak peduli bila gangguan itu dari satu orang, balasannya bisa 10 vihara! It’s a justified violence.

Kuasai Media Sosial

Kesalahan lain foto ini adalah diposting di media sosial! Berat ini, sebuah perlawanan terhadap ideologi kita. Ada 100 foto seperti ini saja, apalagi tiap hari, bisa gugur konsep dasar kita bahwa kami bukan(seperti) kalian. Jadi, sudah jelas bukan mengapa galeri foto seperti ini bisa berbahaya?

Tetapi ada banyak foto begini setiap hari. Apa istimewanya foto yang satu ini? 

Betul saudara-sudara terkasih, ada ribuan mungkin tiap hari. Foto ini jadi perhatian kita karena foto ini diberi makna, bukan sekedar kebetulan ada orang-orang lain agama, lain suku, di situ. Pemaknaan, itu musuh kita. Bukankah kita sedang perang pemaknaan? Tugas meng-kadalin bahasa itu justru hendak merampas proses pemaknaan ini, supaya makna hanya sejauh kita lisensikan, sejauh kita setuju. Di luar itu, pasti konspirasi yang bikin konstipasi!

Jadi mari kita perkuat basis makna kita di media sosial dan kelompok-kelompok digital seperti group WA. Galang para supporter dan simpatisan. Sebar berita yang menggunakan fakta-fakta tertentu sebuah peristiwa dan hapus fakta-fakta lain yang tidak sesuai. Atau sekaligus, ubah sudut pandang peristiwa. Intinya, suarakan lebih keras! 

Ketahuilah hal yang sudah dipraktekkan kaum Yahudi sejak jaman dahulu kala: siapa yang menguasai media, ia menguasai alam pikiran publik. Seorang jenderal memerintahkan anak buahnya untuk menembak, mengembom atau menyerbu itu hal biasa. Memang ia punya kuasa besar, apa yang istimewa? Akan tetapi ketika postingan-postingan kamu bersifat membela Allah, semata membela dalam dakwah, sehingga bisa diklaim dakwah damai yaitu sekadar mengingatkan umat untuk waspada, namun berdaya membuat sejumlah orang meluncurkan amarah secara kolektif seketika saat terjadi suatu peristiwa, itu baru cara Yahudi.

Yahudi memang musuh Allah, tetapi cara mereka boleh dipakai. Dan itu juga cara kita!

Artikel-Artikel Lain:
Galeri Foto Paling Menakutkan


Bahaya Laten Film-Film Cina?

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Galeri Foto Paling Menakutkan"

Post a Comment