Iriana Perempuan Jokowi, Vero Perempuan Ahok

"Hanya zombie yang tidak bisa melihat adanya upaya masif merebut kekuasaan"

Apakah semut-semut yang sedang saya saksikan? Apakah yang sebenarnya diteriakkan perempuan dan laki-laki Indonesia? Gelisah menggayut benak, saya terusik melihat TV mempertontonkan kerumunan massa di pelantikan Jokowi sebagai presiden Republik Indonesia.


Kalau dikonversi secara fisika, berapa daya yang sedang mengumpul. Dibandingkan dengan lumatan ledakan nuklir atas Hiroshima dan Nagasaki, total energi eforia Republik hari itu bakal meledakkan dua kota naas, tumbal pembunuhan bernama ideologi, entah berapa ratus kali! Kulihat di tengah-tengah sorak-sorai berdiri dalam sepi dua perempuan, Iriana dan Vero, serta seorang Ahok.

Status saya hari itu tentang Iriana. Wajah ibu negara tampak lelah namun tegar seperti Jokowi. Di kedalaman pikiranku, saya mendengar tangis kecil seorang perempuan. Badannya bergetar, batinku tercekik, nanar melihat jutaan manusia Indonesia melempar koin harapan kepada suaminya. Nyaris muskil dipenuhi, negara sudah 'dirusak' puluhan tahun. Bagaimana mungkin hanya memberi Jokowi hanya 5 tahun? 

Koin-koin harapan mengubur Jokowi hingga tinggal seleher yang terlihat.

Tetapi tantangan sudah diterima Jokowi, tugas harus dituntaskan. Ahok kejatuhan sampur amanah, melanjutkan estafet 'Jakarta demi Indonesia Baru'. Iriana kokoh mendampingi dan meneteskan sebulir air mata. Sejak pelantikan presiden, beban Republik di badan kerempeng suaminya telah menjadi beban seorang perempuan. (baca juga: Ahok Dapat Hidayah)

Negara sebenarnya dalam keadaan genting meski jutaan warga masih lelap tertidur dalam kenyamanan atau ketidakacuhan. Berbagai paham fundamentalis muncul ke permukaan dari gerilya bawah tanahnya dan memanfaatkan alam demokrasi dan eforia kebebasan. Mereka mendompleng sambil menusuk dengan kejam. Targetnya sangat telanjang, Jokowi dan Ahok harus digoyang sejak kampanye gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. 

Hanya zombie yang tidak bisa melihat adanya upaya masif merebut kekuasaan dan mengklaim privilese atas bangsa dan negara ini – semuanya secara mutlak. Kekerasan religius, brutalitas atas nama Tuhan, dilakukan dengan gagah. Ratusan ribu anak bangsa telah berubah menjadi maniak-maniak pemuja ibadah dalam kekerasan

Iriani Perempuan Jokowi, Vero Perempuan Ahok

Dalam sejarah peperangan bangsa manusia, perempuan kerap dipaksa tumbal sebagai pampasan perang, pelumas syawat kombatan, komoditas dan alat pertukaran politik. Insting paling kelam manusia -bahkan yang sehari-hari memuja Allah- vulgar diganjar ‘teologi ketubuhan perempuan’. 

Ironisnya, peperangan kerap diselesaikan dengan cara-cara perempuan. Kata-kata kunci yang populer dipakai sangat feminin: rekonsiliasi, damai dan kasih.

Demikianlah manusia sombong ini, mencibir kelemahan fisik perempuan, mengeksploitasi dengan dalih hendak memuliakan, mendadak ‘feminis’ di ujung perseteruan.

Indonesia adalah sebuah kontestasi, negeri molek bestari yang dinafsuin irasionalitas pikiran dan kegarangan religius. Iriana dan Vero, dua perempuan Indonesia, harus berada dalam pusaran peperangan ideologis yang oleh para pengusungnya tidak segan-segan diekspresikan secara kasar, arogan dan penuh kekerasan. 

Apakah beban dua perempuan sebatas istri Presiden Indonesia dan istri Gubernur DKI Jakarta? Status saya hari itu memikirkan mereka lebih sekadar ibu negara dan ibu Jakarta. Bayangkan Vero bilang ke Ahok, “Kembali saja ke Belitung.” Segarang Ahok pun bakal loyo bila didemo istri seperti itu. Dan bukan cuma mereka yang kembali, negara balik titik nol sebab demokrasi dipaksa tekuk lutut pada kehendak buas pendompleng Republik.

Vero secara langsung menanggung brutalitas tekanan terhadap Ahok - selama bertahun-tahun. Dalam lukanya, dalam senyap batinnya, ia menyaksikan kelelahan suaminya menghirup hawa pembunuhan setiap harinya.


Vero tidak lari dari pertarungan, bukan seperti seorang pecundang. Dia adalah jembatan persekutuan Ahok dengan anak-anak bangsa. Ia meletakkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi! “Jalan terus,” tegasnya pada suami. (baca juga: Persekutuan Ahok, Soe Hok Gie, Ahmad Wahib dan Chairil Anwar)

Pola serupa kita temukan pada Iriana dan Jokowi. Istri siapa yang tidak terluka melihat gelombang meme yang ganas menista suaminya? Apalagi lontaran-lontaran fitnah yang dikampanyekan penuh semangat keagamaan. Siapa saja bisa bersimpati dengan kepedihan hati seorang istri melihat wajah capai suaminya yang terlelap. Iriani membangun persekutuan istimewa dengan suaminya.

Jujur saja, dua perempuan seakan diberi tugas untuk menjaga kewarasan suaminya dan anak-anak bangsa. (baca juga: Payungi Jokowi, Kawan)

Mendukung Jokowi dan Ahok bukan soal nafsu menang dalam segala hal. Sungguh bodoh berpikir demikian. Kita hanya menjaga Indonesia sebagai rumah bersama. Kalau kalah, baiknya mereka kalah dalam kompetisi jujur, dalam kontestasi yang adil dan beradab.

Indonesia harus bisa merawat akal sehatnya seperti Iriana perempuan Jokowi, Vero perempuan Ahok.


Jual Tenun & Batik Rose'S Papua




Pemesanan:
082-135-424-879/LINE
5983-F7-D3/BB







Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Iriana Perempuan Jokowi, Vero Perempuan Ahok"

Post a Comment