Melawan Kasih Kambing Domba Tersesat

Kambing domba tersesat, barangkali ungkapan paling menakutkan bagi sebagian orang. Orang Kristen katanya memakai istilah ini untuk mengkafirkan setiap non-Kristen. Bila demikian, tentu saja harus disoal. Dan untuk setiap hal yang menakutkan timbullah sikap melawan. Kadangkala perlawanan mencapai puncaknya, melebar ke mana-mana, sehingga justru bertentangan dengan hal paling mendasar dalam kehidupan ini: kasih. 

Abai dengan kasih semata demi melawan menjerumuskan seseorang ke dalam 'sesat pikir'. Setiap orang punya nurani dan akal sehat. Manakala frasa kambing domba tersesat diharuskan menjadi senjata, pikiran bergerilya merumuskan pembenaran bagi kebencian dan kekerasan - minimal verbal. Kesesatan makanya bermula dari pikiran yang ditunggangi penolakan pada kasih bukan dari manusia (saja) bahkan mungkin dari Allah.

Konteks Sosial Politik

Apabila hendak melawan kasih baiknya bertanya-tanya  mengapa orang Kristen menyukai istilah kambing domba dan bukannya sapi kuda. Ini pertanyaan konteks.

Konteks biasanya berkaitan masyarakat yang membesarkannya, begitu juga Yesus. Sebagai bangsa Yahudi, Ia mengenal tradisi pastoral (penggembalaan) kambing domba. Sebagai pengajar, Ia memakai  istilah domba tersesat, pengetahuan lokal bangsanya, dan menjadikannya bagian dari gaya pengajaran parabel (pengisahan) yang populer di jamanNya. 

Pertanyaannya, mengapa Yesus justru memilih kambing domba tersesat dan bukannya perkayuan yang notabene adalah pekerjaan orangtuaNya? Ada kog, tapi sedikit saja. Makanya tidak bakal tertulis dalam Kitap Suci, “Kamu adalah selembar papan tempat Allah menulis dengan paku.” Sebaliknya, Yesus memakai dunia gembala yang tentunya lebih dipahami dan akrab dalam kehidupan serta ruang imaginasi masyarakatNya. 

Jelas adalah kesalahan besar bila non-Kristen merasa sebagai kambing domba tersesat. Yesus hanya berkisah tentang kasih karunia Tuhan dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari para pendengarnya. Dengan cara begini, Ia leluasa membuat pararelisme antara kasih seorang gembala pada kawanannya dengan cinta sayang Allah kepada umat manusia. Tujuannya agar mereka mengerti ajaran baru yang sedang Ia wahyukan. 

Menyangkut ajaran baru di atas, terbitlah dua hal yang perlu dicermati. Yang pertama terkait dengan hukum gigi balas gigi yang dianut pengikut agama Yahudi saat itu. Intinya, kebaikan balas kebaikan, kejahatan balas kejahatan. Begitulah keadilan dan kasih Allah bekerja bagi mereka.

Ketika Yesus memulai ajaranNya secara publik, masyarakat kebanyakan tentu bertanya-tanya apakah Yesus membawa ajaran para nabi terdahulu atau sesuatu yang baru. Jawaban Yesus seperti Gus Dur: bercerita. 

Tersebutlah gembala dengan 100 domba. Suatu hari, seekor domba yang doyan mengelana menyelinap dari kawanannya. Apa yang diperbuat gembalanya? Kalau dipikir-pikir, gembala masih punya 99 domba dengan sejumlah betina yang sekejab akan memperbesar kawananannya. Biarkan saja domba nakal tersebut. Biar tahu rasa digasak serigala, begitu dalam pikiran para pendengar Yesus.

Dalam hukum gigi balas gigi, domba nakal tersebut melakukan kejahatan yang membahayakan seluruh kawanan dan  kesudahannya sudah jelas. Namun Yesus mengubah gambar Tuhan Allah dengan piawainya. Di luar dugaan semua orang, sang gembala rela meninggalkan 99 dombanya yang aman nyaman dalam kawanan penggembalaannya demi mencari domba tersesat itu.

Dan betapa bahagianya ia menemukan domba tersebut sehingga memanggulnya bahkan berpesta. Inilah ajaran baru yang Yesus bawa, yaitu Allah akan mencari bahkan satu jiwa sekalipun yang paling berdosa, paling hina, paling jahat, dan penuh sukacita Allah ketika berhasil membawanya kembali ke dalam kumpulanNya.

Hal kedua yang perlu dicermati adalah sifat-sifat domba dan kawanannya yang tidak termaktup dalam parabel tapi otomatis dimengerti oleh pendengar Yesus. Domba selalu berada dalam kawanan dan mengenal suara gembalanya. Di padang savanna dan lingkungan gurun, banyak bahaya mengintai seperti jebakan dan binatang buas seganas serigala (makanya Yesus juga memakai metafor serigala dan/atau domba di lain kesempatan). Kebutuhan akan air dan tempat berlindung di malam hari juga mengharuskan domba-domba untuk mengelompok dan mengikuti gembalanya.

Hukum Kasih dan Politisasi Domba Tersesat

Dua hal ini saja sudah cukup menjelaskan prinsip kasih yang dibawa Yesus yang secara teologis-kultural-politis bertentangan bahkan subversif terhadap paham Yudaisme. Sekaligus menyentuh hati pendengarNya bahwa ada yang disebut KASIH yaitu mencintai tanpa batas, atau dalam bahasa Bunda Teresa dari Kalkuta, misalnya, 'mencintai baru mencintai bila sampai kamu tersakiti oleh kemurahan hatimu untuk mencintai'.

Jelaslah, paham domba tersesat, pertama dan mula-mula, sifatnya internal, dan merujuk pada pertobatan, pertobatan karena jatuh cinta akibat perjumpaan personal dengan Allah yang terlebih dahulu mencintainya. Dalam hal ini, Allah digambarkan sebagai gembala baik yang selalu mengasihi kita, domba-dombaNya.

Istilah domba tersesat dalam pemaknaan seperti ini bisa dibandingkan dengan banyak kisah lainnya, semisal, Anak Yang Hilang atau Dirham Yang Hilang. Semuanya mengatakan kasih karunia Tuhan Yesus dalam cara yang berbeda-beda. 

Saya sungguh heran dengan banyaknya LOGIKA PENYOK yang masif dipompa ke ruang medsos. Bagaimana mungkin dengan teologi seperti di atas, kambing domba tersesat diartikan upaya mengkafirkan? Sesungguhnya ini kesaksian iman Kristen, begitu saja. Di luar itu, politisasi!

Heran saya bukan pada yang menjadi asal logika ngawur binti sesat ini - karena mereka memang melakukannya secara sadar dengan agenda politik-religiusnya. Yang saya herankan adalah begitu mudahnya ditebarkan orang-orang terdidik di negeri ini.

Melanjutkan di atas tadi, apakah cinta sayang teragung itu? Apabila kamu memberi dirimu bagi sahabat-sahabatmu. Itulah kata cinta Allah dalam hakekatnya terdalam: pemberian diriNya demi tebusan dan keselamatan setiap orang - Yesus.

Jadi sekaligus, saat Yesus menceritakan domba tersesat, Ia juga sedang mewahyukan diriNya. Itulah maksudnya bahwa Yesus Domba Allah. 

Alasan inilah mengapa kami orang Kristen umumnya tidak mau membalas sekadar menimpakan kerusakan yang sama. Gigi balas gigi, nyawa balas nyawa, sudah lewat! Kami mau mengasihi. Kesaksian iman Kristen mengabarkan kasih bahkan bagi yang memusuhi karena setiap orang adalah kekasih Allah yang patut dikasihi dan mampu mengasihi. Saya percaya Islam pun sepakat, bukan?

Tetapi, mengasihi tidak harus pasif. Yesus sendiri berkali-kali memberi contoh bahwa Dia bisa sangat marah dan melawan tanpa melanggar hukum kasih. Dan ini sekaligus sikap politik kami. Saya percaya Islam pun sepakat, bukan?

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Melawan Kasih Kambing Domba Tersesat"

Post a Comment