Cinta dan Benci Banjir Merauke

Banjir adalah memori personal. 

Banjir tidak selalu identik dengan bencana, malah mungkin soal kanak-kanak. Seperti saya semasa SD di Merauke, Papua, setiap tahun mesti menghadapi bencana banjir karena hujan bisa berhari-hari padahal tanah kami berlumpur. Sebagian daerah pasti terendam dalam ritual tahunan ini. Sejumlah rupiah kerugian melayang. Tetapi buat anak-anak, banjir adalah menandakan musim main segala permainan yang bisa dibayangkan – berenang, panah ikan, mancing, lomba perahu batang pisang, perang-perangan lumpur dan berburu ular air. Banjir adalah saatnya jatuh cinta dengan Pertiwi.

Banjir berarti petualangan ‘wisata Merauke’. Banyak kolam menanti dipenuhi air. Kering kerontang sampai ke dasar di musim kemarau namun dengan cepat menampung air sampai tumpah begitu hujan datang. Jangan tanya warna air, coklat susu kopi hitam. Campuran lumpur sangat kental. Yang kami sebut jernih itu adalah lumpur mengendap sehingga sedikit kelihatan ada air mengalir di bawah. Hanya begitu diobok-obok dengan ranting saja, berubah kolam susu kopi Toraja. Dan itulah mengapa anak-anak rela melompat tinggi, bersalto dan menerobos air dengan girang. Ada cinta sebesar cinta.
 
Sejak televisi masuk Merauke, sekitar tahun 1980, bencana banjir mengambil bentuk imaginasi baru. Cinta pada banjir mendapat tantangan serius. Berita membuka mata saya bahwa banyak daerah lain di Indonesia yang mengalami banjir bahkan bencana alam banjir merenggut nyawa dan mengubur rumah. Ibukota Jakarta yang sebelumnya megah seakan menjulang tak terjangkau ternyata bisa banjir. Banjir Jakarta, tidak terbayang sebelumnya! Saya mulai mengenal istilah banjir bandang -- bergidik membayangkan dimensi bencana yang meliputi daerah luas dengan volume air yang besar. 

Masih ingat ungkapan perasaan saya waktu kelas dua SMP dalam mata pelajaran geografi. Guru memberi tugas kelompok yaitu mengumpulkan foto-foto koran tentang daerah-daerah lain di tanah air. Kelompok saya mengambil peristiwa bencana banjir dan gempa bumi yang menimpa beberapa daerah di Jawa. Sudah bisa ditebak, sebenarnya saya yang memilih topik ini. Ada agenda tersembunyi. Saya mau melebarkan cinta pada banjir. Simpulan dari presentasi adalah syukur bahwa Merauke tidak berada di jalur tektonik dan berlumpur mudah banjir bandang namun cepat surut sementara ikan dan burung berkembang-biak dalam ekosistem ini. Bagiku ini seperti wisata Merauke apalagi kala nikmati hutan berawa-rawa dengan ribuan burung beterbangan.

Sejak saat itu, saya menyadari hubungan bencana banjir dengan lingkungan hidup khususnya pepohonan. Merauke adalah wilayah rata dan lebih rendah dari permukaan laut. Yang menjaga pemukiman daerah pantai adalah gumuk-gumuk dan bebukitan pasir alami dengan kerapatan pohon-pohon nyiur. Abrasi pantai terkendali dengan baik di pantai berpasir putih bersih dan panjang membentang berkilometer jauhnya. Kadang wilayah pandai mengalami banjir bandang, dan pasti heboh sekota Merauke. Padahal langsung surut, beritanya bencana banjir melanda. Benar-benar bukan benci banjir!

Informasi yang saya peroleh tentang daerah-daerah lain berbeda. Pembangunan Jawa dan Sumatra dengan kecepatan luar biasa adalah bencana bagi banyak DAS (Daerah Aliran Sungai).  Orang tanpa ragu meratakan bebukitan, mengubah ekosistem dan mendangkalkan hubungan manusia dengan alam. Saya berpikir-pikir banjir Jakarta bukan masalah alam tetapi kerusakan sengaja yang dilakukan manusia atas nama pembangunan. Mereka tidak tahu bagaimana cinta banjir. Mereka hanya tahu bahwa alam layak mendapat benci sehingga harus ditaklukkan sesuai selera manusia.

Televisi benar-benar membantu saya. Selain itu, koran khususnya KOMPAS yang mulai masuk Merauke kira-kira saat saya kelas tiga SMP. Waktu itu seminggu sekali karena penerbangan pesawat dari Jakarta hanya seminggu sekali. Seisi rumah kami membaca memenuhi lantai, mundur hingga 7 edisi ke belakang. Apabila ada berita bersambung seperti bencana, kami bacanya bergiliran.

Di sisi lain, saya rajin menonton acara TVRI, Daerah Membangun, dengan sikap kritis yang akhirnya membawa saya kelak untuk mempertanyakan Pembangunanisme (Developmentalism) sebagai sebuah konsep yang tidak netral namun punya sejarah, dikonsepsikan di kampus tertentu, oleh kelompok-kelompok aliran ekonomi-politik tertentu dan karenanya, selalu punya kepentingan yang wajib dicermati. Bencana banjir boleh jadi akibat ulah pembangunan serampangan atau buah dari keberpihakan keliru. Ah, mereka harus menengok wisata Merauke!

kata kata cinta


Cinta saya pada banjir mendapat perluasan dan tantangan kognitif sangat serius. Bagaimana mungkin sejarah peradaban seperti yang dinarasikan Daerah Membangun ternyata tidak semulus yang saya bayangkan sebelumnya.

Geografi, sejarah, biologi dan kemudian, buku-buku paleoantropologi yang disediakan ayah saya, benar-benar membuka mata dan mendorong jiwa anak SMP untuk membaca lebih banyak dari berbagai sumber. Hingga akhirnya saya sampai pada gambaran evolusi peradaban yang bermula dari lumpur, pengairan dan pertanian kolektif. 

Terlebih semasa SMA, saya belajar banyak bahwa banjir bandang bisa merupakan berkat tersembunyi yang melahirkan peradaban-perdaban besar. Pertemuan sungai Tigris dan Eufrat melahirkan delta Mesir yang kaya humus yang sangat berharga buat pertanian. Sikap dasar yang dibutuhkan adalah cinta bukan benci alam. Yang diperlukan adalah kolektivitas upaya dan aplikasi matematika dalam rangka mengelola dan mentransformasikan siklus banjir bukan sebagai bencana banjir namun timbunan anugrah Ibu Pertiwi. Sistem sosial dan kerja terbentuk, organisasi politik dan religius mengambil peran memimpin. 

Saya benar-benar terpesona dengan pola seperti ini. Saya juga merasa gelisah dengan pemikiran betapa banyak air dan lumpur yang Merauke sia-siakan. Satu contoh saja betapa air menggenang dalam sebulan bakal membawa ikan dalam jumlah luar biasa. Musim hujan hingga awal musim kemarau adalah saat panen ikan sesuka hati di mana-mana. Berbagai jenis ikan berenang, bermain, seperti air mendidih di berbagai tempat. Asal ada air menggenang cukup lama, ikan ada dan gratis buat siapa saja yang mau mengambil. Artinya, ikan-ikan ini menyimpan telur-telurnya di retakan lumpur yang mongering dan melindunginya berbulan-bulan. Ada siklus alamiah yang unik tapi sayangnya tidak dikelola, bahkan hingga saat ini.

Pengalaman dan cinta banjir ini saya bawa hingga kuliah ke Jawa. Saya bangga punya cerita hebat tentang bencana banjir yang berbeda dengan cerita banjir teman-teman dari berbagai daerah lainnya. Saya suka dengan reaksi orang ketika diceritakan bagaimana berjenis-jenis ikan bermunculan dari setiap lubang dan retakan serta memenuhi genangan air laksana wabah. Lumpur kering, retak, tajam -musim kemarau- bagaimana mungkin tumpah-ruah dengan kehidupan begitu air mengisi ceruk-ceruk – musim hujan?

Kampus membuat cinta banjir tidak terkendali. Perpustakaan memberi bacaan dan keluasan wawasan tanpa henti. Saya membaca seperti ‘orang liar’ tersesat di surga. Semua hal saya cicipi. Emperan-emperan buku bekas saya tongkrongin sesering mungkin. Antropologi, arkeologi, biologi molekuler, fisika, astrofisika, apa saja menarik perhatian saya dan membuat banjir dan ekonomi-politik bertambah bobotnya dan makin menantang.

Saya makin sadar bahwa pembangunan sangat penting sekaligus kontroversial dan rawan dieksploitasi. Pemahaman ini membuat saya menyadari pentingnya peran masyarakat dalam mengontrol dan memberi tekanan pada dunia politik, ekonomi dan kampus.

Pada titik inilah, saya menaruh perhatian mendalam terhadap sebuah isu dari ujung timur Republik. Merauke rupanya diproyeksikan sebagai ‘penyelamat’ bangsa ini. Yang sedang saya katakan dan patut menjadi perhatian bersama adalah terkait MIFE (Merauke Integrated Food Estate) alias program lumbung pangan nasional. Puluhan atau ratusan ribu hektar lahan pertanian dibuka dari rencana sejuta hektar, dengan risiko memusuhi alam. Integrasi pembangunan dengan nilai dan kebijaksanaan lokal serta struktur sosial/adat setempat kurang mendapat perhatian. Pemahaman akan ekosistem khas yang menopang bumi Merauke terasa belum memadai bahkan barangkali sedang dirusak secara massif.

Ritual banjir bandang tahunan yang memberi tanah kesuburan dan air hendak dikontrol dengan sistem pengairan terpadu dan target produksi padi. Mega proyek monolultural yang didukung Jakarta ini sudah berjalan meski tidak mulus, secara bertahap, dan dari segi hasil, sudah menghasilkan surplus yang dicanangkan. 

Pertanyaannya, seberapa dalam dan komprehensif analisis terhadap banjir tersebut dan berbagai perannya dalam menjaga ekosistem khas Merauke? Bagaimana pula dengan kanal-kanal yang mengepung kota Merauke, menampung banjir dengan debit air besar itu, namun langsung membuangnya ke laut. Apakah itu solusi terbaik? Jangan-jangan kita sedang membuang apa yang membuat Merauke Merauke – dan terbuang pula tradisi unik cinta banjir?

Atau pembangunan mengharuskan benci alam?


Artikel-Artikel Lainnya:

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cinta dan Benci Banjir Merauke"

Post a Comment