Puisi Cinta Fadli Zon: Monyet atau Kingkong?

Seperti halnya cinta, sastra pun misteri. Kedua misteri ini ketemunya dalam puisi cinta.

Bagian pertama dari tulisan ini, mendapat respon hingga 1200 lebih pembaca unik. Luar biasa memang daya tarik seorang Fadly Zon, para haters wajib mengakuinya. Bliyo memang bukan orang biasa. Kalau dalam bahasa bule, sex appeal-nya kelas jempol punya.

Mengingat pengaruh puisi cintanya yang begitu besar, apalagi timbul pro-kontra yang sengit, mari teruskan pencarian si DIA dalam sajak Airmata Buaya di atas. Jangan tanggunglah, begitu kata awak Batak, harus dituntaskan pencariannya biar terjawab seperti judul-judul berita media sekarang ‘Terkuak sang Dia dalam Puisi Fadli Zon’.

Sebelum kita beranjak ke dalam perdebatan sengit model ILC, yaitu moderator ‘lebih partisipatif’ daripada para partisipan, khususnya dari kubu yang kurang cocok dengan ideologi medianya moderator, kita harus sadar bahwa puisi cinta ada kelas-kelasnya. Dalam kesempatan ini, kita bahas dua dulu ya.

Cinta Monyet

Yang pertama adalah kelas cinta monyet. Ciri paling menyolok adalah kepolosan rasa sayang yang tercurah sehingga salah-salah malah lucu dan konyol. Gampang sekali mendapat contohnya. Ada banyak di sekitar kita. Saya sendiri punya pengalaman nyata. Waktu SMP di Papua, teman sekelasku naksir cewek semok kelas tetangga. Sebagai teman baik, saya bantu dengan sebuah ide cemerlang: puisi cinta.

Kami habiskan banyak kertas lho hanya untuk menulis setengah lembar kata-kata cinta dengan bumbu romantisme yang bisa dipikirkan anak SMP kelas satu. Maklum jaman itu belum ada sinetron pacaran buat referensi atau boneka panda buat nembak macam anak SD itu. (Terpujilah anak jaman sekarang, tidak perlu peras otak, tinggal googling kata kata mutiara terbaru 2016). Jaman aku, adanya hanya kartapel dan buah cemplok. Bagaimana sudah?

Saya kebagian tugas sebagai kurir, pura-pura berjalan lewati si Semok sambil menaruh puisi cinta ke dalam tasnya. 

Tidak pakai lama, langsung dapat balasan. Bukan puisi cinta tapi ancaman mengerikan! Hanya satu baris kalimat dengn huruf besar semua: KO MO DAPAT PALUNGKU KAH?

Dalam bahasa Indonesia Jawa, bahasa Indonesia Papua di atas artinya ‘kamu mau dapat bogem mentah kah?’

Saya dan temanku bingung setengah mati, mengapa si Semok yang biasanya memberi kerling mata dan senyum menggoda kini bagai macan baru melahirkan? Kami baca lagi dengan seksama:

“Sayang…kalau bulan mendadak sirna, aku kan memohon Tuhan untuk tidak menangis karena kamu sudah cukup buat jadi rembulanku….”

“Sayang…kalau matahari mendadak redup, aku akan memohon Tuhan untuk tetap tertawa karena aku siap disulap jadi sang mata buat hari-harimu….”
----------------------------

Coba, apa yang kurang dari kata kata mutiara yang entah bagaimana pula kami bisa rangkai ini. Rasanya tidak ada yang salah, harusnya dia sudah bagai merpati ketimpuk dahan, diam ajah nunggu digendong.

Akhirnya kami tahu sebabnya. Dalam puisi cinta yang kami tuliskan dengan penuh rasa sayang itu, bagian terakhir, semuanya dengan huruf besar, tertulis: I LAP YOO…(dengan gambar  hati mungil menggemaskan, tiga kali). Dalam bahasa Indonesia Jawa, bahasa Indonesia Papua ini berarti: SAYA PUKUL YAA (padahal maunya bilang I LOVE YOU, tapi maklum lidah masih pendek, salah pengucapan plus salah tulis).

Cinta Kingkong

Karena baru-baru ini, dalam sebuah rapat akbar, muncul revisi spektakuler bahwa perumus teori evolusi bukan Charles Darwin melainkan Thomas Darwin, dan bahwa asalnya manusia itu dari monyet, serta evolusi dikembangkan menjadi komunisme, dan maka semua yang mendukung komunisme adalah keturunan monyet, tidak ada salahnya kita rapatkan cinta kingkong sebagai abangnya monyet.

Anda tahu bukan, kingkong itu rajanya primata. Badannya kekar, kumisnya tebal hitam, berbulu panjang seperti mustang dan jalannya gagah seperti jenderal hutan yang tambun. Beda dengan monyet yang malu-malu,  kingkong tegas, suaranya keren ngebas, dan matanya tajam. Kelas wahid!


Temanku pernah bercerita pengalaman super menarik padaku. Dia sudah lama naksir teman kuliahnya. Bagaimana tidak, ‘gunting e sinting’ saja bila tidak suka. Orangnya cantik, pintar bergaul dan rambutnya ikal mayang terurai. Jalannya gemulai dan suka gantung kamera di lehernya. Kalau tersenyum, alamak, crane-crane seantero Jakarta pasti ambrol! Pokoknya perempuan impian yang meresahkan malam-malam berbintang temanku. Pagi-pagi kalau ia bangun, pasti sprei-nya yang bermerek JJ itu sudah berhamburan, tanda gelisahnya ia semalaman, ahayyy…

Seperti kisah temanku di SMP dulu, temanku yang ini yakin bukan fitnah bahwa si cewek sudah kasih lampu hijau. Setiap hari malah. Dan rasa sayang ini sudah menjadi lautan ratapan tiap malam.

“Lho, kog ratapan ya?” saya bertanya sedikit bingung.

“Bagaimana tidak, kalau yang sponsori dia itu bapaknya yang segede kingkong!” jawab temanku mengiba. Pantesan, lawannya pesumo!

Pernah temanku memberanikan diri tampil di depan gerbang rumah. Bajunya rapih serapihnya anak kos dan rambutnya baru ‘sinting e gunting’ di tukang cukur Madura pinggir jalan. Apa mau dikata, beda kelas banget. Dia hanya disambut bulldog segede kingkong juga, dengan tatapan buas penuh keprihatinan terhadap dirinya yang plongah-plongoh.

Saya teringat ide cemerlang jaman SMP: puisi cinta. Tentunya saya masih ingat kegagalan historis, begitu saya dan temanku menyebutnya untuk menandai era gatot (gagal total), lantaran salah pengucapan itu. Jadi kali ini tidak boleh terjadi kesalahan yang sama. Kita kan bukan keledai yang senang mencoblos sebagaimana diinstruksikan atau mencobloskan diri ke dalam lubang yang sama.

Kali ini bukan kata kata cinta tetapi ambil jalan memutar, jalan biasa yang dipakai banyak orang tetapi dengan lebih cerdas: humor. Humor raja hutan bernama kingkong!

Begini puisi cinta kami berbunyi:
“Dear Sayangku…mungkin kamu sudah dengar semalam aku mengetuk pintu gerbang rumahmu dengan antusias sehingga panitia penyambutan sampai melepas bulldog kesayangan kamu. Aku suka dengan seringai dan geram-geram pendeknya, terlihat seksi dan terdengar nafsuin lho…

Sebenarnya aku ingin berjumpa muka dengan bapak kamu. Dengar-dengar bliyo orangnya sangat proteksi terhadapmu. Aku suka lho orangtua penyayang seperti ini, makin menantang...

Oyah, semalam aku bermimpi ketemu bapak kamu lho. Ceritanya, aku lagi main petak umpet sama teman-teman. Pas mau cari tempat sembunyi, tau-tau aku tersesat atau merasa tersesat saja. Bingung cari-cari jalan keluar, seperti melingkar-lingkar saja. Kayaknya semua pohon sama besar dengam daun-daun lebat menggantung. Tiba-tiba aku liat bayangan hitam besar menerabas semak berduri. Kakiku sampai gemetaran saking kagetnya. 

Tapi penampakan itu seperti kenal aku. Matanya tajam memandang seakan meminta aku mengikutinya. Sadarlah aku, si badan besar ini ternyata sejenis kingkong pasar (kingkong pantat besar)! Penasaran juga dibuatnya awak, kuikuti saja maunya. Seingatku, kami lewati banyak semak belukar, pohon-pohon beringin raksasa menyeramkan penuh bergelantungan ular berbisa siap mencomot dan bahkan sempat mau diseruduk kerbau liar mata merah. Untung sigap abangmu ini, dek.

Setelah berjam-jam menempuh banyak mara bahaya, sampailah kami di ujung hutan. Dan di sana kuliat sebuah rumah yang tidak asing lagi. Rumahmu! 

Tau ndak dek, ternyata kingkong pasar membawaku ke rumahmu, langsung ke jantung hatiku, kamu lho...

Pagi ini aku bangun dengan otak terang. Aku tahu sekarang, bapak kamu sedang menguji aku ya, apa serius tidak sama putri semata wayangnya ini. Insiden bulldog semalam itu hanya ujian ringan…

Tolong bilang sama bapak kamu ya, kalau cuma bulldog mah kecil… Kapan-kapan aku ingin ngajak bliyo main-main ke kebun binatang, biar bliyo tahu kalau aku berani masuk kandang orang utan!”
--------------------------------

Keesokan hari, langsung dapat balasan dalam amplop wangi bergambar mawar-mawar merah darah. Di atas selembar kertas, hanya ada satu kalimat, persis seperti kegagalan historis dulu, dengan huruf besar semua, bunyinya “KINGKONG NENEKMU!”
--------------------------------

Duh mak, salah lagi rupanya. Ternyata tidak mudah menulis puisi cinta. Padahal sudah rangkaian terbaik kata kata mutiara yang kami pakai. Sudah googling lho, masih ditambah ilmu perdukunan. Iya, jasa dukun kami berdayakan. Kertas suratnya sudah dimantra-mantra, disembur-sembur campur ludah pak dukun dan diasapin. Sudah bayar mahal, kog tetap saja mental?
 
Akhirulkalam

Kalau kita tarik benang merah, dalam cinta monyet, pelakunya masih culun, kurang pikir dan cenderung meromantisir plus mendramatisir perasaannya. Sementara itu, cinta kingkong cenderung menciptakan jalan memutar, istilahnya nembak kiri tembus kanan. Akan tetapi, hasil kedua pola ini sama, hanya mangkel, sakit hati, salah pengertian dan amarah.

Jadi kembali ke pertanyaan awal siapa sih sang dia dalam sajak Airmata Buaya, harusnya mulai terang sekali, bukan? 

Dia itu sebenarnya orang yang kurang mikir, masih polos berpolitik , tergopoh-gopoh dan penuh dramatisasi. Atau, dia itu sudah lebih berpikir tapi kurang perhitungan, over percaya diri bahwa pemikiran dan strateginya terhitung cerdas meski rasionalitasnya dikawinkan dengan supranatural mbah dukun.

Jadi dia itu dia itulah…. 
WASPADA!

Salam hangat,
Coach Rudy Ronald Sianturi

Mau tahu cara orang Batak bicara vaksin palsu, klik ini.
Mau tahu 'bahaya laten' film-film Cina, klik ini.

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Puisi Cinta Fadli Zon: Monyet atau Kingkong? "