Kristenisasi adalah Misi Gagal
Barangkali
cara paling mudah mendiskreditkan seseorang adalah dengan ‘membongkar’ maksud
terselubung dalam kebaikan hati dan pemberian hidupnya. Tanpa bermaksud SARA, salah
satu hal yang kadang dianggap datang dengan agenda tersembunyi dan kerap
disebarluaskan lewat media sosial, adalah Kristenisasi. Isu ini bahkan
menjangkau ke luar dirinya hingga ranah politik sehingga bagi sementara orang, keterlibatan
Kristen dalam pilkada, misalnya, mudah diasosiasikan dengan upaya menguasai
orang-orang non-Kristen.
Saya
sendiri berpendapat bahwa bila benar ada misi Kristenisasi di Indonesia, itu
adalah proyek mubasir. Dan kebanyakan orang Kristen mestinya tidak bakal tergoda
melakukan hal yang mereka tahu pasti bakalan sia-sia. Tentu ada alasannya mengapa saya menyebutnya ‘misi gagal’ – dan ini
perlu disebarluaskan. Di sisi lain, orang Kristen sebenarnya memaknai Kristenisasi
dengan cara yang sangat berbeda -- dan ini juga
perlu disebarluaskan.
Artikel
ini bukan sekadar hendak memberi informasi, namun terutama mempromosikan dialog
antar iman dan saling pemahaman. Dalam pandangan saya, salah satu modal
terpenting bangsa ini adalah keragaman agama dan karena sebagian besar warga
negeri ini menempatkan Allah maha cinta sebagai sang Nur hidupnya, agama-agama (di)
Indonesia punya kewajiban etis untuk memberkati Nusantara dengan karya, kasih
dan dialog antar iman.
Inboks Flores dan Hidup Membiara
Ada
peristiwa kecil yang mendorong penulisan ini.
Sekitar
dua minggu lalu, saya mendapat inboks istimewa dari Pulau Flores, negeri indah
tempat ribuan orang pandai menyanyi dengan suara merdu tanpa ‘nada lari’. Hari
masih pagi, saat messager mengirimkan notifikasi yang langsung saya buka.
Ternyata dari ponakan saya yang sehari-hari bertugas di Tapanuli Utara. Dia seorang
biarawan yaitu orang Katolik yang mengikat perjanjian suci seumur hidup kepada
Allah sang Cinta. Tiga keutamaan hidup yang dihayati adalah kesucian (hidup
selibat atau tidak menikah), kemiskinan dan ketaatan terhadap cinta dan
kehendak Allah.
Sejarah hidup
membiara sudah setua agama Kristen, bukan seabad dua. Awalnya kira-kira 313 dan
dirintis para pertapa (rahib) yang menyepi ke gurun-gurun untuk menemukan keutamaan
hidup serta kesaksian hidup dibandingkan hidup dalam hingar-bingar perkotaan. Ketika
itu orang Kristen sudah tidak perlu bersembunyi lagi karena Roma
mendeklarasikan agama Kristen sebagai agama Negara. Terjadi perubahan besar
secara sosial dan timbul rasa tidak puas di sejumlah kalangan bahwa iman
Kristen menjadi terlalu nyaman dalam jabatan-jabatan duniawi.
Kerinduan
akan kesaksian hidup yang lebih menantang memicu eksodus besar-besaran dari kota
ke tempat-tempat sepi seperti amanat Yesus Kristus dalam Injil: “Barangsiapa
tidak menjual segala harta bendanya dan memanggul salibnya, dia tidak dapat menjadi
muridKu…”.
Orang-orang
Kristen menginginkan hidup sangat sederhana, dan dalam hanyut sepi,
membentangkan keheningan batin dalam bimbingan Roh Allah. Waktu mereka kelola
dengan ketat. Berdoa lima waktu dilakukan sebagai bagian dari keutamaan hidup. Waktu
doa yang menjadi ibadat harian ini punya akar sejarah dengan kehidupan para
perawan suci di abad pertama yang tiap hari minggu berkumpul dan berdoa bersama
pada jam 09.00, 12.00 dan 15.00. Para perawan suci termasuk para janda ini
menjaga kemurnian hidupnya sebagai kesaksian iman. Artinya, kesucian dikaitkan
dengan pelayanan bagi umat, karya dan keterlibatan sosial demi cinta pada Allah.
Berdoa,
belajar dan bekerja dalam ritme dan suasana doa (prayerfulness) mewarnai kesaksian hidup kelompok-kelompok biarawan pertama
yang banyak membentuk berbagai komunitas bersama khususnya di daerah Mesir,
kemudian Palestina dan Asia Kecil, Irak, Syria, Libanon. Model Kristianitas
Mesir inilah yang kemudian di masa-masa berikutnya ‘diekspor’ ke Eropa Barat
dan Eropa Timur hingga sampai ke berbagai wilayah Afrika, Asia dan Australia.
Mesir bagi Eropa
Koloni-koloni
Kristen awal Mesir ini bisa mencapai antara 600 – 800 anggota, hidup dalam
bilik-bilik sendiri, bertani atau menghasilkan kerajinan tangan dan menjualnya
ke kota untuk menghidupi dirinya. Dalam perkembangannya, timbul usaha-usaha
untuk mengumpulkan individu-individu dalam kehidupan tapa secara komunal dengan
sejumlah aturan bersama dalam rangka merealisasikan tiga keutamaan hidup dan
kesaksian iman.
Ada
beberapa tokoh penting, salah satunya bernama Basilius (330-379). Bersama dua
sahabatnya, dia mendirikan dasar-dasar kesaksian iman yang lebih berimbang.
Kalau sebelumnya lebih menekankan pada hidup asketik dan silih atas dosa (yang
kerap mengambil bentuk dalam penyiksaan diri sebagai ekspresi penyesalan),
beliau menekankan cinta pada Allah dan cinta sesama sebagai ukuran kesalehan
iman Kristen seseorang. Tapa brata bukanlah tujuan pada dirinya sendiri
melainkan sarana atau wahana untuk mencapai cinta kasih yang murni.
Tokoh lain
yang sangat memengaruhi hidup membiara adalah Agustinus. Belakangan dia
ditugaskan sebagai uskup di Hyppo (Afrika Utara) pada tahun 396. Ia banyak
menulis karya termasuk surat, risalah dan regula yang kemudian diikuti ordo
Agustinus dan Dominikan yang didirikan di abad 13. Satu lagi yang patut
disebutkan adalah Benediktus (480-587) yang mendirikan komunitas-komunitas
lintas spiritualitas. Dia banyak menulis berbagai tuntunan hidup membiara. Dan
seperti dua tokoh sebelumnya, pikiran beliau sangat dipengaruhi pikiran para
perintis hidup membiara model padang pasir Mesir.
Betul,
Mesir bagi Eropa dan selanjutnya.
Jalan Berliku Kristenisasi
Kembali ke
inboks tadi, saya sangat bahagia membacanya. Biarawan keponakan saya itu
membagi kabar sukacita mengapa dia terbang jauh dari Tapanuli Utara ke Pulau Flores.
“Tulang
(paman), saya sekarang di Flores, saya mau mengikrarkan kaul kekal.” ringkas dan
padat isi suratnya – tiada motif tersembunyi di dalamnya.
Saya
terpesona dan spontan membayangkan sejarah panjang dan jalan berliku yang harus
ditempuh hidup membiara sejak awal gereja purba abad pertama hingga sekarang. Dan
bahwa ponakan saya menjadi bagian dari model kehidupan yang meminta totalitas dalam
keutamaan hidup dan kesaksian iman, itu mencambuk hidup iman saya.
Saya hanya
bisa membayangkan tahun-tahun pendidikan yang harus dia lampaui. Pertama adalah
yang disebut Masa Postulan yang berkisar satu atau lebih tahun. Masa ini
ditandai dengan ketertarikan calon anggota hidup membiara terhadap kongregasi
yang dipilihnya. Dia belajar kenal dengan berbagai aspek hidup membiara dan
kelompoknya. Dia belajar dan berdoa agar baik dia dan kongregasi bersangkutan
bisa menimbang-nimbang kecocokannya.
Setelah
itu ada Masa Novisiat yaitu bagi mereka yang secara resmi sudah diterima dalam
hidup membiara. Tahun-tahun ini dihabiskan dengan belajar dan berdoa serta
hidup sebagaimana yang diharuskan oleh kongregasi. Dia harus menjadi pendoa
dalam segala aktivitasnya bahkan bila perlu, dalam mimpi! Setelah selesai,
biasanya ditandai dengan ‘ikrar kaul’ (sementara) yaitu bahwa secara sadar mengikat
janji suci seumur hidup dengan Allah, khususnya dalam tiga keutamaan hidup:
kesucian, kemiskinan dan ketaatan.
Apabila lolos, tiba waktunya sekolah bagi sang biarawan. Biasanya
kongregasi mengirim yang bersangkutan menempuh pendidikan formal atau lainnya
sesuai dengan kebutuhan. Seringkali pula, sambil bekerja mengabdi di berbagai
karya yang berada dalam naungan komunitasnya. Keponakan saya sendiri mengabdi
di Tapanuli Utara sambil mengambil gelar sarjana hukum. Semua ini dilakoni
sambil terus memperdalam hidup sebagai pendoa dalam ritme doa harian ketat
dengan tiga keutamaan hidup. Dan ia harus siap ditempatkan di mana saja atau
ketika tiba masanya, disuruh belajar lagi.
Setelah 10 tahun mengarungi proses menjadi Kristen sebagai biarawan, barulah dia diperbolehkan mengucap kaul kekal (menjalani kesucian,
kemiskinan dan ketaatan seumur hidupnya) di pusat kongregasi di Pulau
Flores.
Inilah
Kristenisasi itu! Sangat berbeda dengan Kristenisasi versi sementara orang yang katanya telah memurtadkan jutaan umat Islam - dalam fantasi!
Misi Gagal Super Menarik
Kalau anda
berpikir bahwa para biarawan adalah pengecualian atau orang-orang istimewa
dalam hal iman, anda keliru! Benar bahwa mereka adalah role model bagi umat. Akan tetapi, setiap orang Kristen -tanpa
kecuali- dituntut untuk menghayati iman sedalam-dalamnya sesuai kapasitas dan
ruang lingkup karya masing-masing. Tiga keutamaan hidup ditafsir dan diekspresikan
dalam kehidupan masing-masing. Maka seorang politisi
Kristen yang Kristen, misalnya, wajib hukumnya menjadi tauladan dalam
berdoa dan bekerja seperti halnya seorang biarawan – bagi dunia!
Kristen
adalah perjalanan panjang bahkan seumur hidup. Syarat-syarat formal bagi yang
mau menjadi Kristen tidak mudah seperti halnya menjadi biarawan. Ada
tahap-tahap belajar, ujian, praktik dan proses spiritualisasi sebelum diijinkan dibaptis
(tentu lain dalam kasus emergensi seperti keinginan menjadi Kristen menjelang kematian).
Dan lebih penting lagi, berbagai tuntutan iman selanjutnya akan ‘membombardir’
dirinya – sampai bisa membuat nafasnya 'sesak'.
Bayangkan bila gereja hendak menambah anggota sebanyak-banyaknya dengan model Kristenisasi seperti yang sudah dibeberkan di atas. Gereja tidak punya sumber daya untuk melakukannya. Siapa pula yang bisa melakoninya? Kristenisasi model fantasi pasti gagal, bukan? Kata lain, tuduhan yang tidak masuk
akal.
Mungkin benar ada sejumlah kecil orang Kristen yang ‘tampil agresif’ dalam bersaksi dan sepemahaman saya, merekalah yang sering dijadikan ‘bukti misi Kristenisasi’ secara pukul rata. Padahal agresivitas itu hanya langkah pembukaan. Proses menjadi Kristen yang Kristen, apabila ada anggota yang berhasil direkrut (biasanya sangat sedikit, cukup sering nyaris tak ada), akan kurang lebih sama secara substansial. Serangan-serangan gencar hingga skak mati bakal menggodanya untuk keluar, atau terjebak sebagai anggota suam-suam kuku.
Ketakutan pada misi Kristenisasi lahir dari pengertian salah kaprah dan politisasi agama secara vulgar. Orientasi misi bukan hendak menambah jumlah anggota tetapi menambah kebaikan ke dalam dunia ini - sebagai garam dan terang.
Kristenisasi dalam arti dakwah sangat lamban menambah anggota - terang sudah. Yang sebenarnya terjadi adalah orang tertarik menjadi Kristen karena kesaksian iman dan keutamaan hidup sebab berlaku “IMAN tanpa perbuatan adalah MATI”.
Kristenisasi
adalah ‘misi gagal’--mission impossible-- dan karenanya, super menarik.
Rudy Ronald Sianturi
Artikel-Artikel Lainnya:
Cinta dan Benci Banjir Merauke
Artikel-Artikel Lainnya:
Cinta dan Benci Banjir Merauke
Bunda Teresa Cinta Neraka
Cinta Super Berselingkuh
Takut Patung Berarti Cinta Allah?
Puisi Cinta Soekarno Buat Megawati
Cinta Super Berselingkuh
Takut Patung Berarti Cinta Allah?
Puisi Cinta Soekarno Buat Megawati
Tulisannya berbau Islamiah .. dan penter memutar-balikan kenyataan. Kristenisasi sangat suka dipakai oleh muslim2 demi menyerang orang2 yg percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.
ReplyDeleteTerima kasih atas komentarnya, sangat dihargai nggih.
ReplyDeleteSaya tidak jelas apa maksudnya berbau Islamiah. Yang jelas tidak ada putar-memutar kenyataan. Semua yang dikatakan adalah fakta historis dan cerita yang disampaikan adalah dalam kisah nyata.
Karena isu Kristenisasi kerap dipakai untuk memecah-belah negeri ini, kami menulis untuk mengajak kita semua melihat yang sebenarnya. Ketakutan pada Kristenisasi itu tidak mendasar. Justru sebaliknya, kolaborasi dan dialog antar iman, itu yang paling kita butuhkan sekarang dan sampai kapanpun.
Salam.