Kata Cinta Buat Jokowi dan Batak Toba: Marah Perempuan?
Rasanya sudah cukup marah
perempuan sang pemosting (Nunik Wulandari II) yang memang asal ngomong itu.
Saya paham bila ada teman-teman yang merasa gusar. Beliau bukan cuma
mengolok-olok Jokowi tapi seluruh peradaban Batak yang dibangun dengan kata cinta,
darah dan air mata.
Kalau melihat fotonya,
kalau benar itulah dia, dia tampak muda dan polos. Barangkali ada hubungannya
dengan kosa kata yang dia pakai untuk salurkan rasa marah terhadap Jokowi. Mungkin
juga ini kata cinta –dengan cara ekstrim nir logika. Memang harusnya segitu. Dia
hanya mencari-cari dan kebetulan dapatnya Batak Toba. Dapatnya Batak
Mandailing, sama juga disikatnya. Saya bukan bilang dia bodoh. Saya hanya
mengira-ngira mungkin baru segitu wawasan kebangsaannya dan olah emosinya.
Kalau mau jujur, ada banyak
sekali seperti perempuan ini -- setiap harinya. Bahkan seringkali dalam berita
atau ‘ingin dalam berita’ seperti kata-kata kunyuk
dan kambing dibedakin sejumlah politisi dewan yang terhormat –ada buat
Jokowi, ada buat Ahok. Sebagian lagi, seperti beberapa artis yang katanya multi
talent itu, memang tanpa berita karena mereka cenderung irit atau miskin kosa
kata mengingat pemahaman politiknya hanya gagah di sinetron dan infotainment.
(Yang dulu pilih mereka, tolong sembunyikan tangan :))
Kesalahan Nunik adalah
menyinggung Jokowi dengan menistakan langgam Batak dalam sebuah peristiwa besar
dan bersejarah yang mendapat peliputan luas. Kita tahu bahwa orang Batak
termasuk etnis mayoritas di Republik. Tidak sedikit yang tersebar di berbagai
penjuru dunia. Tanpa jeda, banyak menelorkan nama besar dan berpengaruh sejak
dulu. Maka kedatangan Presiden dalam aura Proklamasi 2016, punya arti seribu
makna. Publik sangat sadar dan peka dengan Karvanal Kemerdekaan Pesona Danau Toba.
Meme yang dia postingkan pongah menabrak apa saja yang dipercaya atau dipersepsi
masyarakat. Wajar timbul marah.
Kesalahan yang lebih
fatal adalah beliau tanpa sengaja menekan tombol pride. Akarnya karena tidak
paham makna raja bagi orang Batak. Secara umum suku mana saja menghormati raja.
Tapi sejauh yang aku pahami, raja punya dimensi lain di kalangan orang Batak. Setiap
laki-laki adalah raja (sekaligus bukan, tergantung posisinya dalam hubungan
kekerabatan). Maka setiap perempuan otomatis boru ni raja (putri raja).
Konsekuensinya jelas. Ketika
seorang raja diberi penghargaan tertinggi oleh para raja Batak Toba yang
bersepakat, bisa dibayangkan betapa digdaya dan terhormatnya raja ini. Dia raja
pilihan, lain tidak. Upacara itu adalah ekspresi kata cinta terdalam. Maka saat
barisan panjang boru ni raja berkelok
sepanjang 1,5 kilometer, bawa tandok beras di kepala, ulos cantik tersampir,
rambut bersanggul yang harus dikerjakan subuh-subuh, bertahan didera panas dan manortor dalam kucuran keringat demi sang
Raja Paripurna, setiap Batak termasuk yang sudah mati pun bangkit semangat
dalam haru mendalam.
Menista Raja ni Raja sama artinya menabuh perang melawan seluruh raja dan putri raja! Masih juga mau berpeeerang kau?
Menista Raja ni Raja sama artinya menabuh perang melawan seluruh raja dan putri raja! Masih juga mau berpeeerang kau?
Kasihan sebenarnya,
beliau tidak mengantisipasi orang Batak teriak ramai-ramai. Selain banyak yang oktaf
suaranya di atas rata-rata bahkan di atas Celine Dion dan Whitney Houston, bersama-sama pulak!
Pekak telingalah awak. Dan tanpa diduga, seseorang mengambil inisiatif
melaporkan resmi ke polisi dengan aduan pencemaran.
Sudah cukup bukan dan
saatnya refleksi. Barangkali baik bila mengalihkan perhatian bukan pada seorang
yang masih culun tapi masuk ke dalam diri, ke dalam identitas yang tentunya sudah
matang sebagai etnis dan peradaban.
Kita tahu peristiwa
bersejarah Danau Toba bukan saja ditandai dengan kedatangan seorang Raja
Negeri - Presiden RI. Ia juga ditandai dengan perseteruan pemaknaan atau tepat-tidaknya Ulos Ragidup, Tongkat Tunggal
Panaluan dan penutup kepala Tahuluk yang diberikan pada Jokowi. Saya bahkan menemukan
sejumlah orang Batak yang dasyat menista baik panitia penyelenggara dan tak
urung, Jokowi!
Saya angkat tangan soal
ini. Pemahaman adat-istiadat Batak Toba saya masih jauh sekali dari memadai. Saya
sepakat bila pemberian dan simbolisasinya harus sesuai. Dan ini mengherankan
bahwa ternyata orang Batak belum bersepakat tentang bagaimana ulos dan maknanya,
khususnya yang dipakai Jokowi. Selain itu, timbul pertanyaan dalam hati. Apakah
harus segitunya sampai sumpah-serapah? Bukankah sebagai bangso Batak, kita
'terberkati' karena silang pendapat yang ada membuka mata bahwa kita dalam bahaya kehilangan pengetahuan diri bila
tidak lekas belajar dan meriset budaya Batak? Lalu mengapa yang bersangkutan
tidak dilaporkan kepada yang berwajib mengingat banyak pula yang komen dan
postingannya publik? Karena yang mengatakan orang Batak pulak?
Dalam ilmu jiwa, salah
satu mekanisme pertahanan diri adalah pindah tempat. Maksudnya, kita mengalihkan
emosi ke tempat atau objek lain. Marahnya sama orangtua, yang
dipukul-pukul tembok rumah. Ya, berdarah-darahlah tanganmu, Ucok!
Karena alasan marah pasti karena cinta, layak
bila bertanya. Kita ini marah dengan perempuan tersebut atau sebenarnya (sedang) dan sebaiknya marah terhadap
diri sendiri?
Artikel-Artikel Lainnya:
Takut Patung Berarti Cinta Allah?
Puisi Cinta Soekarno Buat Megawati
Mantap kali ucok ulasanmu..
ReplyDeleteWah makasih kaka butet hehe
ReplyDelete