Persekutuan Ahok, Soe Hok Gie, Ahmad Wahib dan Chairil Anwar

Pikiran memiliki hanya dua pilihan yaitu membatu atau mengguncang. Berada di antaranya berarti mati suri. Dan meditasi pagi ini mendamparkan pikiranku kepada para pengguncang, yaitu persekutuan Ahok, Soe Hok Gie, Ahmad Wahib dan Chairil Anwar – persekutuan kata kata. 

Sebenarnya saya maunya memeditasikan perayaan Imlek. Saya hendak mengucap syukur pada Allah yang telah memberi sahabat-sahabat Cina ke dalam hidup saya. Sesimpel itu. Ternyata banyak hal lain bergolak dan mengguncang tenunan ingatan-ingatan. Saya terlempar ke masa lalu yang membuat saya getol mencari pikiran dalam kata kata hingga sekarang. 

Sungguh menakjubkan bagaimana memori merangkai kata kata dari orang-orang yang berbeda agama, ras dan latar belakang ke dalam satu kata kunci: lawan! Ahok dan Soe Hok Gie adalah Cina Kristen dan Katolik, gubernur dan sastrawan-aktivis. Ahmad Wahib seorang wartawan dan pembaharu Islam asli Madura. Chairil Anwar adalah kelahiran Medan, seorang penyair terkemuka Indonesia. 

Empat orang dengan satu kesamaan yaitu melawan kejumudan baik pikiran, kecondongan dan tindakan. Empat orang paling subversif!

Maka beginilah doaku pagi tadi:

Terima kasih ya Allah, karena berkat 'Catatan Seorang Demonstran Soe Hok Gie', yang saya baca semasa SMA, menimbulkan keyakinan bahwa bangsaku layak besar. Berkat aktivis Cina ini pula saya sangat menikmati "Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib', seorang brilian pembaharu Islam yang namanya diabadikan dalam lomba esai oleh Yayasan Paramadina besutan Nurcholish Madjid.

Saya ingat benar bagaimana pergolakan Ahmad Wahib menggolakkan pikiranku. Ia bertemu dengan seoarang pastor katolik yang baginya sangat baik dan gelisah karenanya. Bagaimana mungkin orang sebaik ini harus masuk neraka? Pertanyaan yang sangat penting dan revolusioner!

Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian 9 Oktober 1969)

Saya merasakan kekuatan besar dalam kata kata mutiara yang hanya bisa keluar dari keberanian seseorang yang telah melampaui simbol dan kesalehan sosial. 

Bayangkan ya Allah, remaja seperti saya membaca bagaimana Soe Hok Gie berpidato mengobarkan api perjuangan melawan setiap penindasan dan penyelewengan dari idealism bangsa. Ia turun ke jalan-jalan, dia dibenci regim penguasa, tapi ia kokoh dalam prinsip-prinsip keadilan yang menuntun pikiran dan tindakan-tindakannya.

rudy ronald sianturi

Kedua orang ini memungkinkan saya kian menghayati puisi 'Aku Chairil Anwar'. Saya yakin Engkau mengenal gelora di dadaku ketika tertimpa ‘si binatang jalang’ paling romantis se-Nusantara ini.

Entah sudah berapa kali saya mengikuti lomba baca puisi dengan puisi wajibnya Aku. Saya belajar dari bapa, orang tua luar biasa yang Engkau berikan bagiku. Beliau yang menyebut-nyebut individualisme, kata asing yang sama sekali tidak kupahami sebelum ia jelaskan. Sejak itu, saya membaca puisinya dengan menyerukan kehendak menjadi diri, menjadi otentik dan berani melawan arus sebab cinta, keindahan, kebenaran dan keadilan tidak mungkin digadaikan dengan apapun termasuk harta, kekuasaan dan selangkahan.

Maka ya Allahku, adalah sangat wajar bila saya kemudian tertarik dengan seorang kurus kerempeng seperti Jokowi yang seperti kucing, ia bernyawa sembilan sehingga laju kerjanya melebihi perkiraan banyak orang. Adalah sangat wajar bila saya tertarik pada banyak pemimpin lainnya apalagi ‘model preman’ seperti Susi yang menjadi role model bagi Interpol dunia. Indonesia memang membutuhkan orang-orang gilak Jokowi seperti dia, seperti Risma, Sri Mulyani atau Megawati.

Terima kasih ya Allah bahwa Engkau kemudian melemparkan seorang Ahok yang seakan terjatuh dari negeri antah berantah ke dalam pangkuan Republik. Saya tertarik mengamati orang Belitung ini sejak kemunculannya bersama Jokowi. Saya sudah perkirakan ia akan bersinar sebagai salah satu matahari di negeri ini. 

Yang saya tidak sangka adalah sinar yang ia pancarkan lebih beragam dari dugaanku. Saya seperti mendapatkan segenggam Soe Hok Gie di dalam dirinya, api menggelora, kobaran menggelegak yang kadangkala kasar dalam ketegasannya. Segenggam Ahmad Wahib merasuki dirinya saat ia dengan tegas menolak dikafirkan dan didiskriminasi sebab Ahok Indonesia. Segenggam Chairil Anwar menyerupai dirinya yang berani menghadapi tekanan bertubi-tubi demi idealism yang tidak bisa ditawar dengan harga berapa pun.

Saya tergugu membaca Ahmad Wahib ini:

Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif. (Catatan Harian 16 Agustus 1970)

Terima kasih ya Allah bahwa Engkau telah menjejali pikiranku dengan orang-orang pendobrak sehingga saya tidak lalai mencari pikiran dalam kata kata. Mereka adalah persekutuan unik yang mengingatkan bahwa bangsaku layak besar. Sebuah anugerah khusus manakala meditasi saya Engkau bawa ke dalam wilayah permenungan yang unik.

Gong Xi Fat Chai

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Persekutuan Ahok, Soe Hok Gie, Ahmad Wahib dan Chairil Anwar"

Post a Comment