Surat Cinta Kekasih Islam

Dear Kekasih Islam,

Ada hal yang ingin saya ungkapkan demi spirit persaudaraan dan kasih khususnya di antara Kristen-Islam. Mohon ijin melayangkan surat cinta tulisan batinku ini. Apalagi di penghujung tahun, sungguh layak bila kita menghentikan waktu sejenak dan melongok dengan kejujuran.

Banyak peristiwa setahun ini. Kita patut merayakan hal-hal yang menimbulkan sukacita, cinta-kasih dan bukti bahwa Kristen-Islam sungguh merupakan aset bangsa. Di sisi lain, kita harus mengakui bahwa banyak peristiwa mencemaskan akal sehat sekaligus mengharuskan kita bertanya 'apakah kita belum beranjak dari kekerasan dalam menjalin relasi?'

Kalau kekerasan bernuansa agama ibarat kalender, betapa memalukan bila setiap minggu dengan catatan. Coba tengok sekarang, apakah baiknya kalender ini kita warnai tunggal saja: merah karena sarat pertikaian atau hitam karena sarat penyerangan?

Ada seminggu tersisa, tetap saja kita olesi merah dan hitam. Siapakah orang beragama kalau bukan dia yang mengenal sang Khalik adalah cinta, bahwa nafas kehidupannya adalah surat cinta Allah bagi dunia?

Apa yang sebenarnya terjadi belakangan ini justru sebuah kontradiksi. Intimidasi, curiga dan logika hukum penyok dipertontonkan sejumlah ormas dengan megah. Atribut budaya pop dan konsumerisme dengan gegabah diasosiasikan dengan Kristen dan keculasan Kristenisasi. Sekelompok orang membuat justifikasi bertindak laiknya polisi - mungkin lebih.

Betapa absurdnya!

MUI menyesalkan bahwa ormas-ormas melakukan sweeping dengan dalih fatwa. Kapolri, Tito, menegus keras anak buahnya yang membuat surat edaran berdasarkan fatwa MUI.

Fatwa MUI bukan hukum positif, tidak boleh dijadikan dasar, demikian substansi pernyataan Kapolri. Fatwa sifatnya internal, tujuannya pencegahan, begitu katanya MUI.

Apakah para ulama sudah tenggelam suaranya dalam riuh orgi kekerasan atas nama agama? Apakah suara Kapolri hanya buih di benak sejumlah kapolres beliau?

Kekerasan sudah dan sedang berlangsung secara terorganisir maupun berjamaah tak terorganisir seperti via sosmed. Kita memberi jalan dalam bisunya kita. Ia bagai  dan mendapat pembenaran bahkan dikawal polisi dan sejumlah politisi! Rajutan sosial kembali dilukai, disayatin, diberi perasan jeruk asam brutalitas verbal-fisik dalam kosa kata sarat kepentingan ideologis-religius.

Dalihnya pendangkalan akidah dan upaya melindungi warga dari pemaksaan pemakaian atribut Natal. Tapi faktanya, sweeping, kekerasan dan pengaitannya dengan kafir - dan kafir bukan sekadar non-Islam tapi semua hal yang mengancam, busuk, hina, eksplisit dan/atau implisit. Seakan bagi sebagian orang, setahun adalah 'latihan perang' bila konflik terbuka horizontal terjadi.


Hal-hal di atas adalah bahaya nyata di depan mata. Yang pertama dan paling kena dampaknya justru orang-orang Muslim sendiri karena Islam menjadi tanda tanya besar: ini sudahkah agama damai penuh cinta tersebut?

MUI dan Kapolri sudah menyatakan dengan jelas, tegas. Tapi mengapa mayoritas Muslim membisu melihat kemuliaan Islam dibajak dan dilukai seperti ini?

Saya tidak rela! Ketahuilah, setiap kali Islam dibajak, Kristen turut dibajak. Ketahuilah, bagi tiap kemuliaan Islam yang dicerabut, turut terluka batin orang-orang Kristen.

Kekasih,
Boleh saya mohon cukupkan pertikaian konyol ini? Kembali ke dunia nyata, bukan hidup dalam fantasi kejayaan satu kaum belaka.

Kita sedang menyemai benih-benih kebencian, kepandiran pikiran dan kedoyanan pada kekerasan. Satanic at its root!

Pertaruhan luar biasa mahal, itu yang sedang kita lakukan. Suatu ketika, kita bangun bukan dengan senyum tapi badan lelah, pikiran tercabik, hati penuh amarah, luka dan darah.

Saatnya anak-anak dan cucu-cucu kita besar, dunia yang mereka warisi penuh sumpah serapah dan kata-kata najis. Corak kehidupan yang dilakoni berawal dan berujung pada pertanyaan: siapa lagi yang liyan?

Hari-hari ini cinta dan kasih masih kuat di antara kita. Hanya seperti Menara Pisa, konstruksi dasarnya sedang digerus secara masif. Hubungan kita bergerak condong dan kelerengannya progresif. Ada momen manakala keretakan fundasinya berubah patah-patah dan kemiringannya menjadi hunjaman ke bawah.

Apakah benar Allah membutuhkan semua ini supaya dipermuliakan? Apakah orang beragama hanya akan damai bila kaumnya seorang yang menguasai bangsa dan negara ini? Sejak kapan agama menggantikan Allah dan memenjarakan pikiran - bukan membebaskannya?

Saya percaya kata hati dan nurani bicara bersama. Sejak Bapa Ibrahim menerima titah Allah untuk menyembah hanya diriNya, kita ditakdirkan sebagai sepupu iman. Sayang, kita melukis sejarah kegemilangan peradaban Kristen dan Islam juga dengan perang, pengkhianatan dan kebencian akut. Saya menolak terbebani dengan bagian-bagian kelam sejarah seperti ini. Saya belajar dan berani masuk ke dalam sejarah tetapi tidak lantas traumatik dengan kamu. Justru saja menemukan jutaan alasan mengapa kita bisa hidup dan membangun dunia.

Cukupkan absurditas ini! 

Cinta saya buat Kekasih Islam yang saya hormati

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Surat Cinta Kekasih Islam"

Post a Comment