Kata-Kata Cinta Merpati Putih yang Berlumuran Darah di Cekungan Tembok


Pengalaman dengan seekor merpati putih memungkinkan cinta pengampunan kepada pelaku serangan terhadap Gereja Santa Lidwina, Bedog.
Ilustrasi merpati putih yang terluka
Hujan amat deras kembali menghantam Yogyakarta. Angin berkesiur kencang mengisi ruang tersapu. Di atap kudengar butiran-butiran air berkejaran di atas genteng tiada henti. Seakan ribuan tentara menderap maju, atau selongsong peluru-peluru senapan berjatuhan kelelahan. Dan seseorang berlumuran darah di setiap ledakan mesiu.

Ada sesuatu di suara-suara itu, di antara kata-kata air yang terlepas dari awan dan menghempas genteng dengan brutal. Samar-samar sebentuk rupa membayang. Bukan manusia namun seekor burung merpati putih yang entah mengapa menggantikan wajah orang-orang yang seharusnya diterjang pelor panas. Aku tidak ketemu jawabannya namun tidak jua berusaha menghentikan gambaran-gambaran ini.

Kembali berusaha mendengarkan dengan seksama sembari mengetatkan sarung di badanku.

Aku bukan paranormal apalagi dukun atau pernah mengikuti Perguruan Silat Merpati Putih sehingga terlatih waskita. Aku hanya mengikuti bisikan kata hati akan pertanda perkabungan. Kemarin, Minggu (11/2/2018) pada pukul 07.30 WIB, seseorang dengan kelewang terhunus merangsek masuk ke dalam Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman, Yogyakarta. Dia mengayunkan pedang telanjang ke arah umat.

Permadi adalah orang pertama terkena sabetan mengerikan yang diayun dengan amarah besar itu. Romo Karl Edmund Prier, SJ, dosen dan pakar musik gereja, sedang memimpin misa di atas altar, beliau merupakan sasaran sesungguhnya.

Agus adalah korban lain yang menderita luka sabetan di punggung maupun kepala dan saat tulisan ini dibuat, kondisinya masih kritis di rumah sakit. Beliau berusaha melindungi anaknya dengan mengorbankan dirinya. Sebuah tindakan kasih tak terkira ketika harus berhadapan dengan penyerang bersenjata dan berteriak garang. "Hentikan ini semua, kalian kafir jahanam."

Umat berusaha menghalangi pelaku hingga polisi datang. Bahkan pintu gereja sengaja ditutup agar pelaku tidak melarikan diri. Ketika polisi berusaha membujuknya untuk menyerah, dia justru makin melawan sehingga terpaksa dilumpuhkan. Tak urung tebasannya telah melukai Romo Prier dan empat orang lainnya termasuk seorang polisi, rata-rata mengalami luka serius di kepala.

Dari penelusuran berbagai berita dan juga keterangan resmi GP Ansor, penyerang Gereja Katolik Santa Lidwina bernama Suliyono dan merupakan mahasiswa asal Banyuwangi yang pernah mondok di sebuah Pesantren di Magelang, Jawa Tengah. Ditengarai beliau terpapar ajaran dan pemikiran radikal selepas Pilkada DKI Jakarta 2017.

Minggu kemarin, hujan disertai angin berkesiur menikam Yogyakarta dari langit. Air berulang-ulang membanjiri atap, pepohonan dan setiap jalan. Seperti saat ini, aku duduk mengetatkan kain sarung di badan dan terpekur. Terbayang kembali darah berceceran di lantai gereja dan percikan berlumuran tertebas parang yang telah kehilangan kata cinta. Dan kulihat patung Yesus terpotong menyilang, kepalaNya terpenggal brutal.

(Baca juga: Takut Patung Berarti Cinta Allah?)

Merpati putih sering melambangkan Yesus yang bagi orang Katolik adalah Allah sendiri yang melawat umatNya. Tujuan dari inkarnasi Yesus adalah untuk menebus setiap orang yang mau menyerahkan diri kepada belas kasih Allah. Patung tertebas di dalam Gereja Santa Lidwina merepresentasikan kerahiman Hati Kudus Yesus, sang Maha Cinta Surgawi yang mengepakkan kasih dan pengampunan.

Kembali aku diajak memerhatikan dengan seksama. Ada sesuatu di antara tumpahan air di genteng yang berkejaran bagai tentara berbaris atau rentetan selongsong peluru yang berjatuhan kecapaian. Dan akhirnya kutemukan sebuah mutiara di kedalaman ingatanku.

Tahun 2012, waktu itu aku tinggal di Singapura. Hari sudah menjelang mahgrib. Aku tergopoh-gopoh karena langit sudah menghitam. Turun dari gerbong kereta api, bergegas berjalan keluar stasiun menuju apartemen tempat tinggal. Berjalan kaki ke situ bisa 15 menit. Aku mempercepat langkah sebab hujan mulai menetes dan sebentar lagi bakal mengguyur dasyat.

Untuk mempercepat waktu, aku sengaja memotong-motong jalan pulang menembus lorong-lorong lengang di antara bangunan-bangunan apartemen yang membentuk lingkaran. Tiba-tiba hujan dasyat turun disertai guruh memekakkan telinga. Terjepit aku di antara taman kecil di cekungan sambungan dua tembok bangunan dengan wuwungan kecil menaungi.

Kurapatkan badan ke tembok. Petir bertalu-talu. Dingin sekali udara basah dengan tampiasan hujan melembabkan kaos di badan. Langit memijar seperti retakan kala kilat menyambar dengan dengki. Lampu taman memudar cahaya putihnya seakan hendak ditelan kegelapan senja. Saya merasa sendirian, kesepian, dipermainkan gemuruh di langit yang tiada berkata-kata ramah.

Kuangkat wajah hendak menimbang-nimbang cuaca. Apakah harus kutembus dinding hujan?

Langit kembali retak. Sebuah pijar putih menjalar seperti naga mengamuk disertai desis menakutkan. Di tengah silau cahaya kilat, aku terkesima menyadari bahwa aku tidak seorang diri. Ada mahluk lain yang turut kedinginan dan merapatkan tubuh ke cekungan tembok dekat wuwungan. Bulu-bulu dia putih namun kemerahan. Dia berdarah! Di dinding, beberapa tetes darah bercecerahan. Dia tertembak!

Merpati ini bertengger di tembok kota Singapura. Belum pernah kulihat seorang pun menembak burung-burung yang berkeliaran dengan bebas di mana-mana. Tetapi di atas sana, mahluk Allah berdarah. Energi kehidupannya tampak meredup, dia berusaha bertahan. Dia tampak begitu rapuh dan ketakutan tanpa kehilangan aura ketulusan di pancaran bola-bola matanya.

Aku benar-benar terkesima. Di sekeliling kami, dunia menghitam dan lampu taman sia-sia berusaha merobek kekelaman. Langit begitu bising seakan sejuta pandai besi sedang menempa pedang mustika. Orang-orang telah masuk ke dalam rumah masing-masing. Hanya dua mahluk saling bertatapan: seorang manusia dan merpati putih yang berlumuran darah di cekungan tembok.

Tiada bahasa menjembatani aku dan dia. Tiada kata menghubungkan manusia dan burung. Namun kudapat mengerti makna pandangan di wajahnya yang begitu tulus dalam kesakitan dan kengerian ditembusi peluru panas. Aku tahu dia tidak bisa lagi mengepakkan sayap-sayap.

Matanya sembab berharap, aku tidak mungkin bisa melupakan permintaan itu. Dia memberiku sebuah pengertian yang tidak lumrah. Di saat merasa kesepian di tengah dingin, basah dan ledakan petir guruh, aku tidak sendirian. Di saat ingin terburu-buru pulang hendak menghindar dari gelap, aku justru menemani dia yang tertembus lontaran logam.

Sekarang saya paham dengan bisikan kata hati akan pertanda perkabungan oleh lebatnya hujan ini. Sesungguhnya layar harapan sedang berkembang.

Di tengah selimut malam Singapura, 2012, aku diajak masuk ke dalam kasih tulus supaya sanggup mengampuni orang yang telah merobek-robek kedamaian sosial dan kesakralan misa 11 Februari 2018. Di depan Hati Kudus Yesus yang tertebas kepalaNya, kudengar bisikan untuk tetap menjadi merpati putih bagi penyesah gereja dan gembalanya.

(Baca juga: Surat Cinta Kekasih Islam)

Kepada saudaraku Suliyono, setulusnya, aku haturkan kata-kata cinta terbaik.

Jual Tenun & Batik Rose's Papua

kata bijak motivasi singkat cinta kehidupan mutiara islami mario teguh sabar dalam kisah nyata


Pemesanan:

082-135-424-879/WA
5983-F7-D3/BB

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kata-Kata Cinta Merpati Putih yang Berlumuran Darah di Cekungan Tembok"

Post a Comment