Kotak Pandora, Sastra dan Politik Harapan
Kenikmatan tertinggi dalam kehidupan adalah membaca
‘sastra yang sastra'
(Rudy Ronald Sianturi).
Alkisah sastra Yunani
kuno, Dewa Zeus murka bukan kepalang karena Prometheus mencuri api gunung Olympus
dan memberinya kepada manusia. Sebagai balasan atas skandal memalukan ini, Zeus
memerintahkan Dewa Hermes membentuk perempuan pertama di antara bangsa-bangsa manusia:
Pandora.
Dewa Hermes mengambil
tanah liat dan merangkai Pandora secantik dewi khayangan. Kepadanya dikenakan
gaun dan perhiasan pakaian selayaknya seorang penguasa langit. Ke dalam
pikirannya dicangkokkan hawa nafsu, kepedulian dan rasa ingin tahu yang besar.
Pandora cantik semerbak niscaya menerbitkan fajar cinta di mata para lelaki yang melihatnya.
Pandora cantik semerbak niscaya menerbitkan fajar cinta di mata para lelaki yang melihatnya.
Dewa Zeus mengirimkan Pandora
sebagai hadiah kepada Epimetheus, saudara Promotheus yang tidak mengindahkan
kata-kata abangnya agar tidak menerima apapun dari Zeus, sang penguasa
tertinggi gunung Olympus.
Kotak
Pandora dan Insiden Pulau Seribu
Tersebutlah di rumah Epimetheus
ada sebuah kotak indah menggoda. Didorong rasa ingin tahu, Pandora membukanya tanpa menyadari taring-taring maut yang mengintai. Terjadilah hal yang sangat mengerikan. Terbang dari dalam roh-roh (jahat) yang mewakili segala jenis kesusahan yang bakal menimpa
manusia: maut, kemalangan, perseteruan dan segala jenis penyakit.
Pandora panik luar
biasa dan berusaha menutup kembali kotak Epimetheus tersebut. Sayang, segalanya
sudah terlambat.
Segala jenis kesusahan,
roh-roh jahat, yang mencengkram kehidupan manusia terlanjur meliar, melahap
kedamaian semesta. Kotak Pandora telah dibuka oleh kenaifan dan hawa nafsu yang
ingin mengusai yang bukan miliknya.
Berpikir secara
pararel, banyak orang mengira bahwa Ahok telah membuka kotak Pandora dalam pidatonya di
Kep. Seribu, khususnya sepotong kalimat yang mengandung kata kata Al Maidah 51. Bagi mereka ini, para penganut hukum ‘mata ganti mata’, insiden Pulau
Seribu menghalalkan segala azab, hinaan dan ancaman masif terhadap Ahok Gubernur
DKI Jakarta.
Pola pikir di atas
dangkal dan fundamentalis. Ia gegabah mereduksi kotak Pandora Pulau Seribu sebagai
pelayan ideologis bagi kelompok-kelompok sekepentingan saat ini (agamis,
kapitalis, politisi) namun gado-gado motifnya (sebagian kacangnya sudah
kaladuwarsa dan berbau) dalam politik berjamaah di Pilkada DKI Jakarta. Mereka bersepakat
bahwa Ahok terlanjur mencengkram tombol amarah umat.
Orang-orang ini gaduh sampai
pekak gendang telinga kita. Tanpa henti mereka membanjiri ruang publik dengan
stigma ‘Ahok penista agama’ meskipun Jaksa Penuntut Umum (JPU) tegas mengatakan
bahwa dakwaan primer dengan alat bukti kata kata yang mengandung Al Maidah 51
tersebut tidak terbukti. Ahok tidak
menista agama.
Membaca
Sastra dan Politik Harapan
Dalam kepanikannya,
tergopoh-gopoh menutup kotak Epimetheus, Pandora berhasil memerangkap satu roh terakhir
yang belum sempat keluar. Satu-satunya yang tersisa itu bernama HARAPAN.
Harapan 'dikekang' dan
ditaruh di tempat semestinya. Ia tidak meliar, beterbangan dalam kendali syawat
kekuasaan, kebencian dan amarah. Maka sesuai takdir, kesusahan, kebencian, hawa nafsu dan setiap brutalitas
kejahatan harus berhadapan dengan harapan, bahkan bilapun secuil, yang ditetapkan sebagai watak yang
paling memanusiakan kehidupan.
Pengharapan adalah benteng kotak Pandora, sesuatu yang mengusai namun dalam kontrol manusia. Ribuan jahat cukup dihadapi satu harapan.
Pengharapan adalah benteng kotak Pandora, sesuatu yang mengusai namun dalam kontrol manusia. Ribuan jahat cukup dihadapi satu harapan.
Timbul
pertanyaan yang sangat mendesak. Bagaimana mungkin orang yang sudah beragama
bertahun-tahun bahkan sejak bayi tidak menampakkan disiplin argumentasi
yang inheren dalam Kitap Suci? Mengapa banyaknya fakta pengadilan yang berlawanan
dengan dakwaan primer terhadap Ahok tidak berdaya menimbulkan sikap kritis yang lebih konstruktif? Mengapa
begitu mudah termakan kampanye bahwa umat Islam dizolimi tanpa daya, seakan
kehilangan kendali atas harapan yang menjadi inti pewahyuan dalam agama manapun?
Lukisan Pandora sedang membuka kotak Epimetheus |
Menurut hemat saya, hal paling mendasar
adalah rendahnya tingkat literasi serta keterbacaan sastra. Internet memang
membantu bangsa ini mengintensifkan hobi dan ketrampilan berinteraksi ke dalam
ruang-ruang maya. Aplikasi WA mencatat sekitar 500 juta pesan hilir-mudik di Indonesia
- setiap hari. Sayang tidak didukung tingkat keterbacaan memadai. Indonesia di
posisi buncit konsumsi buku. Rerata anak anak bangsa membaca hanya 2-3 halaman
per bulan!
Buku dan sastra bisa dipastikan asing dari kehidupan kebanyakan anak bangsa. Tidak heran, disiplin bernalar, membangun argumentasi, bertanggung-jawab dan sikap empatik, yang merupakan karakter khas sastra (yang sastra), tidak diadopsi dalam keriuhan mereka di dunia medsos. Gosip, hoax, infotainment, copy paste, umpatan, makian, self-glorification dan mentoakan ujaran-ujaran kebencian adalah makanan paling sedap bagi mereka.
Buku dan sastra bisa dipastikan asing dari kehidupan kebanyakan anak bangsa. Tidak heran, disiplin bernalar, membangun argumentasi, bertanggung-jawab dan sikap empatik, yang merupakan karakter khas sastra (yang sastra), tidak diadopsi dalam keriuhan mereka di dunia medsos. Gosip, hoax, infotainment, copy paste, umpatan, makian, self-glorification dan mentoakan ujaran-ujaran kebencian adalah makanan paling sedap bagi mereka.
Kenikmatan dalam
menggagas ide bahkan kebencian asalkan bisa dipertanggungjawabkan, sependek
apapun itu, tidak pernah menjadi ukuran keadilan dan kebenaran yang ironisnya paling mereka tuntut. Namun mulut tergopoh-gopoh
seperti halnya Pandora dibuka dan kata-kata diterbangkan meliar seenaknya.
Orang-orang gaduh
dan mengulang-ulang serangkaian hasutan, fitnah dan ancaman yang sudah
diprogram para konseptor dan ideolognya. Mereka gagal
mengenal pengharapan dalam dimensi pewahyuan.
'Kelelahan' kita
menghadapi kasus Ahok atau yang sering ditulis media sebagai 'kasus penistaan
agama' adalah konsekuensi dari politik harapan. Sikap Ahok yang taat hukum dan munculnya
orang-orang pemberani seperti Gus Ishom, Aqil Siradj atau Buya Maarif
membangkitkan harapan bahwa kebaikan bisa dimenangkan (hanya) bila orang-orang
sekehendak berkubu.
Di sisi lain, harapan mengaktivasi akal sehat dalam menghadapi roh-roh jahat. Bahkan roh-roh jahat sebaiknya dilepaskan agar menjadi tontonan dan atraksi badut yang membongkar ketololan dan kebengisan motifnya.
Di sisi lain, harapan mengaktivasi akal sehat dalam menghadapi roh-roh jahat. Bahkan roh-roh jahat sebaiknya dilepaskan agar menjadi tontonan dan atraksi badut yang membongkar ketololan dan kebengisan motifnya.
Karena kotak Pandora
telah dibuka, segala kejahatan harus enyah. Roh-roh jahat tidak boleh mencampur
dengan roh pengharapan. Selamanya, tidak boleh.
Revolusi
Bunga dan Perlawanan
Harapan mengambil
bentuk sangat cerdas dalam 'Revolusi Bunga' balai kota untuk Ahok-Djarot. Energi
kebaikan secara masif dibangun bersama. Pesan yang sangat kuat dikumandangkan
bersama. Masyarakat merindukan cahaya batin dan menolak distorsi kebencian dan
amarah. Bunga adalah deklarasi anak-anak bangsa yang menolak ditelikung
kebohongan dan kebengisan dalam agenda politik berbungkus agama.
Sekali lagi, banyak yang
mengira Pandora adalah nama sebuah kotak yang berisi segala keburukan di dunia-akhirat.
Banyak yang berpikir kalau Ahok Gubernur DKI Jakarta telah membuka kran
penindasan dan pantas diganjar penghukuman ala massa jalanan.
Pandora bagi mereka
sekadar nama sebuah kotak yang berisi hal-hal bau, jahat, busuk, vulgar,
bengis, kasar tidak santun. Karena kurang membaca dan
mengolah sastra, mereka justru diperdaya dan mudah dimobilisasi. Mereka menjadi bagian dari Pandora yang benar-benar bengis.
Perhatian anak-anak bangsa lebih pada hal-hal negatif dan ditumpahkan secara masif pada satu pribadi: Ahok. Pikiran naif mereka tak bakal mengira bahwa kisah terpentingnya adalah pancaran cahaya harapan di tengah-tengah absurditas Pilkada DKI Jakarta.
Dalam kesusahan, dalam tekanan masif, membumbul watak sesungguhnya. Siapa bertahan, siapa berprinsip, siapa berpikir, siapa kardus kosong, kelihatan dengan sempurna.
Perhatian anak-anak bangsa lebih pada hal-hal negatif dan ditumpahkan secara masif pada satu pribadi: Ahok. Pikiran naif mereka tak bakal mengira bahwa kisah terpentingnya adalah pancaran cahaya harapan di tengah-tengah absurditas Pilkada DKI Jakarta.
Dalam kesusahan, dalam tekanan masif, membumbul watak sesungguhnya. Siapa bertahan, siapa berprinsip, siapa berpikir, siapa kardus kosong, kelihatan dengan sempurna.
Bunga mengekspresikan
harapan dengan begitu konkret, dan siapa pun tidak pernah menduganya. Bunga bukan pencitraan murahan seperti kata-kata Fadli Zon.
Orang-orang Yunani kuno
boleh saja mengaitkan Pandora dengan kejatuhan
akibat tindakan tanpa perhitungan. Sebagian orang Indonesia boleh saja mengasosiasikan Kep.
Seribu sebagai awal segala kejahatan, penderitaan, kebrutalan dan kebangkrutan bagi
kehidupan seorang Ahok.
Orang yang akalnya masih sehat pasti tahu yang lebih baik. Sesungguhnya telah lahir sebuah ‘politik berjamaah’ berbasis harapan yang secara tegas memisahkan dirinya dari berbagai anasir jahat yang hendak menguasai yang bukan miliknya.
Orang yang akalnya masih sehat pasti tahu yang lebih baik. Sesungguhnya telah lahir sebuah ‘politik berjamaah’ berbasis harapan yang secara tegas memisahkan dirinya dari berbagai anasir jahat yang hendak menguasai yang bukan miliknya.
Harapan tidak
pasif, ia patuh pada kebaikan. Ia bertindak, ia mencipta makna, ia menggalang tindakan secara kolektif.
Ia datang dengan karangan bunga membanjir -dengan jutaan lilin menyala. Ia adalah kisah nyata dalam ruang-ruang
(media) sosial, dalam bilik-bilik doa, dalam sastra.
Harapan melawan dan
siap melawan dengan keras - kapan pun bila diperlukan.
Sila Hubungi:
0 Response to "Kotak Pandora, Sastra dan Politik Harapan"
Post a Comment