Sang Cahaya di Tanah Sunda

“Berjalanlah ke arah cahaya, jangan membelakangi sang cahaya”

Tidak pernah saya bayangkan kalau spiritualitas adalah perjalanan bukan hanya jiwa namun terlebih petualangan raga dan interaksi sosial. Saya pikir hanya jiwa yang mengelana sementara tubuh justru menghentikan sebanyak mungkin kontak dengan dunia luar.

Sekitar 27 tahun lalu, di usia sangat belia, saya memutuskan belajar spiritualitas. Modal saya hanya kenekatan, semangat berkobar-kobar dan tanpa saya sadari, kenaifan seorang pemula.

Saya sudah banyak membaca soal spiritualitas sebelumnya, dan kebanyakan para pelaku spiritual digambarkan memilih hidup dalam pengasingan diri. Jadi saya berkesimpulan kalau spiritualitas adalah soal bertekun dalam kehidupan doa di tempat-tempat sunyi dan menghadirkan senyap ke dalam batin yang menghubungi Allah sang maha cinta. 

(Baca juga: Cinta Super Berselingkuh

Maka saya mencari guru-guru rohani yang bisa dianggap mumpuni dalam olah rohani. Saya ingin bimbingan, menyimak kata kata dan menyerap karomah serta pengalaman batin mereka.

Spiritualitas ternyata menyenangkan, begitu kesan saya di awalnya. Bulan demi bulan saya mengikuti semua proses bimbingan dan kian yakin dengan pembelajaran yang saya peroleh. Batin saya melangkah ke berbagai negeri rohaniah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Apalagi saat belajar membedakan berbagai roh yang berebut kendali atas pikiran, perasaan dan perilaku manusia, sangat menarik!

Suatu hari, sang guru rohani mengumpulkan kami semua. Beliau mengumumkan sesuatu yang terdengar lebih mirip lonceng kematian. Katanya, “Yang kalian pelajari selama ini baru secuil, belum pantas disebut spiritualitas. Setelah 6 bulan bertekun dalam doa, kalian merasa telah menjadi orang yang lebih baik. Itu benar sekaligus gegabah.”

Waduh! Kata kata beliau seperti dentuman bom dan hanya menunggu gelombang udara menggulung tubuhku dalam hitungan detik. Apakah sia-sia berkorban berbulan-bulan mengasingkan jiwa raga dari keramaian dunia? Untuk apa belajar tentang kata kata bijak, untaian mutiara puitis dan cinta Allah selama ini?

Guru rohani kami menjelaskan dengan lebih mendalam. Katanya, apapun yang kami peroleh selama 6 bulan pengasingan diri adalah ibarat sekolah dasar. Di situ kami belajar mengenal abjad dan menyusunnya secara bermakna. Di situ kami belajar dasar-dasar berhitung dan menggunakannnya untuk memahami kehidupan dunia. 

“Spiritualitas itu sebenarnya adalah perjalanan jiwa raga, sebuah kelana ke dalam ruang-ruang batin terdalam sekaligus ke tengah-tengah dunia.” katanya lagi.

(Baca juga: Jangan Mau Dikalahkan Semut dan Rayap

Sekarang ini, kami ibarat pemanah yang telah melihat target tapi belum jua mampu melepaskan anak panah dengan senyum. Saya menyerah kalah. Saya tidak tahu bagaimana harus memaknai kata kata beliau ini. Rasanya seperti pemaksaan, sebuah intervensi ke dalam benak saya.

Begitulah, supaya perjalanan kami lengkap, sang guru mengirimkan kami kembali ke dalam dunia ramai. Beliau mengatur agar kami berpasang-pasangan. Kami hanya dibekali sebuah instruksi singkat berupa belasan kota yang harus kami jalani selama berhari-hari bukan sebagai turis namun sebagai pengelana-pengelana spiritual.

Bersama temanku, saya kebagian Tanah Sunda, menyusuri jengkal-jengkal kota dan desa di Jawa Barat, bergerak dalam keheningan total, berkontemplasi sepanjang jalan, menjalin interaksi dengan penduduk yang kami temui. Sekali lagi, tidak sebagai turis namun dalam suasana batin sang pendoa.

Setiap interaksi sosial adalah sebuah kontemplasi aktif. Setiap interaksi sosial, oleh karenanya, harus dilakukan dalam semangat sebuah perjumpaan dengan sesama yang juga mendapat cinta Allah secara penuh, demikian pesan guru rohani kami.

Terdengarnya sederhana dan mudah dilakukan – di awalnya. Belakangan saya baru sadari ada perbedaan besar antara interaksi sosial yang saya lakukan sehari-hari dengan kontemplasi batin di tengah-tengah interaksi sosial.

Kami dibekali uang secukupnya untuk biaya bis ke Terminal Bogor, Jawa Barat. Itu saja. Kami juga dibekali sebuah bungkusan yang hanya boleh dibuka bila telah tiba di tempat tujuan, yaitu Terminal Kampung Rambutan, Jakarta.

Tujuan pokok kami berjalan kaki menjelajahi belasan kota di Jawa Barat adalah belajar menggantungkan diri pada cinta kasih Allah. Makan-minum dan tempat menginap harus kami minta sepenuhnya dari Allah yang akan menunjukkan kepada siapa kami harus meminta. “Allah telah menyediakan orang-orang yang akan mengambil bagian dalam perjalanan spiritual kalian.” demikian pesan guru kami.

Kami tak pernah boleh menerima uang atau makanan dengan alasan apapun. Kami hanya boleh makan minum secukupnya dan setelahnya melanjutkan perjalanan dalam kontemplasi batin. Kami hanya boleh tidur di manapun yang telah disediakan Allah, tidak memilih-milih namun selalu meminta tuntunan Roh Kudus untuk menunjukkan di mana harus meminta tumpangan tidur.

Kata kata guru rohani kami tergiang-giang di telingaku. Waktu itu Terminal Bogor masih senyap ketika kami tiba dini hari. Orang-orang tampak berusaha tidur, sebagian orang menjajakan sarapan sembari terkantuk-kantuk. Tanah Sunda dalam pelukan dingin udara, sekeliling masih diselimuti kabut dan samar-samar selubung gelap.

Badan rasanya penat sekali duduk berjam-jam sejak dari Semarang, Jawa Tengah, dalam bis ber-AC sangat dingin. Itulah kemewahan terakhir yang bisa kami nikmati. Mulai sekarang, selama berhari-hari, kami  akan hanya mengandalkan sepasang kaki, latihan rohani dan orang-orang yang konon telah disediakan Allah untuk menyokong pengelanaan jiwa raga ini. Kami belajar mengandalkan hanya Allah maha cinta – itu intinya.
kata bijak motivasi singkat cinta kehidupan mutiara islami mario teguh sabar dalam kisah nyata
Sang Pemanah memanah dengan senyum
Di tengah keremangan subuh, kami membuka amplop kecil yang berisi instruksi tadi. Tertulis di situ, belasan kota yang sebagian baru saya dengar namanya. Kami tidak tahu jarak dari satu kota ke kota lainnya. Kami juga tidak tahu arah menuju tiap kota. Instruksinya singkat: gantungkan segala pengharapanmu pada Allah, niscaya Dia yang akan menunjukkan jalan dan caranya.

Saya memandang berkeliling mencari orang pertama yang telah disediakan Allah itu. Dan saya tidak ketemu! Semua tampak serupa: terkantuk-kantuk di depan dagangannya. Allah mungkin lupa? Allah sedang menguji kami? Lucu juga memikirkan hal ini.

Saya bertanya pada temanku siapa yang harus kita tanyai di suasana berkabut seperti perkabungan ini? Dia juga angkat tangan. Dalam keadaan begini, Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, terasa jauh sekali dan tidak bakal tercapai. Dan ini masih hari pertama!

Akhirnya saya putuskan mencoba peruntungan, barangkali tidak sesulit kelihatannya. Agak terseok, saya berjalan mendekati seorang penjual yang tampak paling tidak mengantuk kecuali kantong matanya yang dasyat membengkak. Kusapa dengan sopan dan perempuan ini mendongak. Aku merendahkan badanku supaya lebih enak berbicara. “Permisi, bu, apakah bisa tolong beritahu kami arah ke dalam kota Bogor?”

Dia tampak agak tidak siap dengan pertanyaan, di pagi sebuta itu, yang terdengar absurd buat telinganya. Dikiranya saya mau membeli dagangannya. Mungkin dia sedikit kecewa. Matanya agak membuka dan memicing ke arahku. Mulutnya mengatakan sesuatu tapi total tidak dapat saya pahami maksudnya.

Saya coba ulangi lagi pertanyaanku namun kembali mendapatkan jawaban bagai dari warga Planet Mars lagi ngantuk. Allah sedang mencandain kami!

Saya kembali ke temanku yang menunggu dan menceritakan hasil perjalanan perdana dalam interaksi sosial. Dia tertawa mendengar istilah yang kubuat itu: perjalanan perdana dalam interaksi sosial.

Akhirnya kami putuskan untuk keluar dari wilayah Terminal Bogor berharap, saat fajar merekah, kami bisa temukan seseorang yang benar-benar sudah standby sebagai 'utusan Allah' yang akan memberitahukan arah dan perkiraan jarak. Hal ini penting karena kami harus memperkirakan kecepatan berjalan dan menentukan di mana harus mencari tumpangan tidur. 

Dan esoknya sudah ada kota lain yang menanti!

Kami pun berjalan memunggungi matahari. Bukan karena tahu, tapi sekadar mengikuti naluri, atau tepatnya, kata batin. Barangkali ini praktik kontemplasi perdana ketika kami menyerahkan keputusan pada Roh Kudus ke mana harus melangkah dan menemui orang pertama yang masih misteri bagi kami. 

Siapakah dia?

Saya ingat momen itu, ketika fajar timbul perlahan menyibak embun pagi Tanah Sunda, sesosok orang tua seakan muncul begitu saja dari sibakan kabut pagi. Dia lelaki sekitar dua kali umur kami, kulitnya agak menghitam - mungkin petani. Penampilannya biasa, malah tidak menyakinkan, namun pancaran energi di wajahnya sangat menyenangkan. Dan itu membuatnya sangat berbeda apalagi  meski munculnnya adalah kisah nyata tetapi bagai dalam dongeng anak-anak: dari sibakan kabut.

Dia mendahului tersenyum pada kami dan mengatakan sesuatu seperti selamat pagi. Kami mendekat lebih dekat, menyatakan salam dengan senyum juga. Kami meminta arah dan perkiraan jarak padanya.

“Ikuti cahaya matahari, berjalanlah ke arah cahaya, jangan membelakangi sang cahaya.” jawabnya seakan sedang membaca naskah yang sudah disiapkan.

Ah...ternyata sederhana saja. Dengan gembira kami berterima kasih dan bergegas memulai perjalanan yang disebut guru rohani sebagai petualangan kelana jiwa raga ini.

Baru beberapa detik melangkah, saya berhenti tanpa diminta. Teman saya juga mendadak berhenti. Kami saling memandang. Pikiran kami sama. Kata kata ‘petani’ tadi terasa janggal, seperti bukan sebuah jawaban, lebih mirip instruksi atau bahkan pelajaran rohani.

“Ikuti cahaya matahari, berjalanlah ke arah cahaya, jangan membelakangi sang cahaya.” saya mengulangi kembali kata katanya dalam hati. "Kata kata bijak yang luar biasa," desisku pada diriku sendiri.

(Baca juga: Mutiara Sholat dan Ngaji

Saya berbalik mencari orang itu, penasaran sekali. Orangnya sudah menghilang seperti mengikuti kabut yang menipiskan dirinya. Saya berjalan kembali ke arah kami menemui dia tadi. Tak ada jejaknya. Tak ada siapapun di situ, hanya keheningan fajar dan burung-burung bersiul.

Batin saya bergejolak, berdebum-debum. Saya memandang langit dan mengheningkan cipta mengucapkan syukur dan takjub akan kuasaNya yang barusan saya rasakan. Siapapun orang itu, petani sungguhan atau the messanger yang dikirimkan Allah maha cinta, sama saja artinya.

Tanah Sunda terasa begitu berbeda pagi itu. Perjalanan pertama dalam interaksi sosial benar-benar terjadi. Kali ini bukan atas inisiatif kami sebgai manusia namun inisiatif Allah sendiri. Orang itu, petani berkulit hitam itu, mengatakan hal paling mendasar dalam olah spiritual: ikuti cahaya, jangan membelakangi cahaya (apapun situasimu).

Kegembiraan besar menyelimuti hati saya dan temanku. Kebenaran kata kata guru rohani mulai tersibak. Orang pertama yang dikirimkan Allah bagi perjalanan jiwa raga ini telah menghadirkan pelajaran terpenting bahkan satu-satunya yang akan membekali kami selama berhari-hari ke depan, sebuah perjalanan yang menarungkan seluruh daya, kehendak, emosi, fisik bahkan keselamatan jiwa kami.

Ini sebuah perjalanan menggapai sang Cahaya di Tanah Sunda. Dan di sepanjang jalan, akan banyak terjadi ledakan 'bom rohani'. Supaya kisah itu nyata bahwa ‘menggantungkan nasibku pada kehendak sang Pencipta’, ibarat anak-anak pada orang tuanya, memang sungguh menyenangkan.
kata bijak motivasi singkat cinta kehidupan mutiara islami mario teguh sabar dalam kisah nyata



Pemesanan:

082-135-424-879/WA
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi 

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Sang Cahaya di Tanah Sunda"