Mayat-Mayat Pecinta Allah Bertumbangan Ketika Shalat Jumat

Allah menangisi orang-orang yang dibunuh dalam serangan terorisme di masjid Sinai

Allah menangis hari itu, Jumat kelabu 24 November 2017. Ratusan orang tanpa alasan ditembaki saat sedang melaksanakan kewajiban shalat Jumat. Serangan teror di masjid Sinai, Mesir, tersebut berlangsung hanya 20 menit. Menurut polisi setempat, sekitar 25 hingga 30 orang dengan kalap menyerang jemaah di dalam masjid kecil tersebut dengan memakai bom, senjata mesin otomatis hingga bahkan membakar sejumlah kendaraan yang sedang diparkir.


Sambil meneriakkan takbir, gerombolan penyerang menembaki para jemaah yang merupakan sufi Islam, pribadi-pribadi pecinta Allah, yang membaktikan hidupnya demi kedamaian dunia. Tembakan senjata awalnya acak sebelum kemudian lebih terarah, demikian kata-kata saksi mata. Darah muncrat, tulang tertembus peluru dan lantai memerah. Mayat-mayat bergelimpangan. Shalat jumat berubah bagai neraka.

Pemerintah Mesir menyebut serangan brutal di masjid Sinai ini sebagai aksi terorisme dan bersumpah akan membalas.


Di tengah-tengah erangan duka dunia dan kebingungan sanak keluarga yang harus kehilangan orang-orang tercinta secara kejam di hari yang dikuduskan bagi Allah, sejumlah manusia ‘hiper saleh’ dengan absurdnya meradang 'mengapa kalau pelakunya Muslim langsung disebut teroris, kalau Kristen bukan'.


Kata-kata seperti ini bukan saja tidak sensitif namun menimbulkan tanda-tanya besar. Mayat-mayat bertumbangan belum usai dari ingatan kita dan genangan darah di lantai masjid belum jua mengering. Bukankah kengerian ini lebih mencekam daripada dorongan atau kebutuhan mendefinisikan apakah pembantaian di masjid Sinai, Mesir, tersebut sebuah aksi terorisme atau bukan?


Orang-orang yang mengklaim para pembela agama ini tak secuilpun menaruh belas kasihan pada ratusan nyawa terenggut namun kembali memanfaatkan tragedi untuk mendistorsi nalar publik. Tampaknya bagi mereka, kematian ratusan manusia seperti fiktif, bukan kisah nyata, dan bahkan sebuah ‘anugerah’ meskipun yang bertumbangan merupakan sesama imannya. Tanpa ragu mereka bergegas menggagas stigma bahwa Islam sebagai korban dan karenanya layak memerangi.


Teman saya mengeluarkan kata-kata yang patut dikutip. “Atas nama siapa, bung, engkau sanggup membungkam terhadap pembantaian 305 sufi Islam yang sedang shalat jumat oleh puluhan Islamist yang bertakbir? Kehidupan dicabut dengan keji, bagaimana mungkin engkau tidak bergidik? Mengapa diam seribu bahasa ketika puluhan perempuan dan anak-anak ikut terluka?

Allah terisak-isak hari itu. Saya teringat tausiyah seorang ustad dalam rekaman videonya. Katanya dengan semangat, kafir tidak mungkin kerasukan setan mengingat kafir adalah setan, maka sesama setan 'semacam' saling menjaga perasaan. Yang bisa kerasukan setan adalah orang beriman nan soleh, dan yang dia maksudkan adalah orang-orang Muslim.


Saat mendengar ajarannya, saya bertanya-tanya apakah dia menyadari konsekuensi logis dari perkataannya tersebut? Artinya, orang beriman dan saleh sangat potensial kesetanan!


Kita cukup sering menjumpai semangat beragama absurd model begini. Saya pikir benarlah yang dikuak dalam sejumlah pengamatan bahwa pola pikir yang sudah terkontaminasi hiper dogmatisme akan kacau nalar dan sangat arogan. Ini sangat berbahaya karena pendangkalan akidah yang kerap dikesankan momok itu justru bermula dari sini, bukan dari kelompok iman lainnya.

Cilakanya orang-orang yang kurang awas dalam penalarannya makin berlimpah ruah. Bukan masalah bodoh tetapi karena masifikasi dan politisasi agama secara brutal dan memuakkan.


Teringat saya pada kasus nekrofilia, sebuah gangguan kejiwaan berat yang menzolimi mayat demi kepuasaan pribadi. Cara dakwah yang melupakan empati pada korban penembakan teroris dan sebaliknya, memanfaatkan tubuh-tubuh berserakan tiada nyawa itu, sangat memuakkan dan multi destruktif.


Allah menangisi mayat-mayat pecinta yang digugurkan peluru laknat bagai bunga-bunga Kamboja merah di sudut-sudut sepi pemakaman kota. Seorang teman Muslim mengaku kehilangan kata-kata bijak atau kata-kata mutiara yang harusnya bisa dia katakan untuk menasehati mereka para pembela agama itu.

Dia akhirnya hanya sanggup menuntut, “Mengapa (agama) Islam kalian lecehkan begini?”


Yang mati itu manusia-manusia nyata, sedikitnya 305 tubuh yang menggelinding, bukan segerombolan manekin seperti tipu-tipu absurd yang kalian tebar waktu ratusan orang diberondong di serangan teror Paris. Jangan menyeret kami ke dalam kultur kematian yang kalian puja-puja!


Saya terkesima di kedalaman kata-kata yang mengandung cinta tak terperi. Dia ingin kita menyingkirkan sejenak agenda politik dan berdoa untuk para korban. Apa tidak lelah membuat agama Islam tampak begitu rapuh sekaligus momok mengerikan?


Ketika itu hari minggu pagi. Saya ke gereja dan memohon surga bagi jiwa-jiwa pecinta Allah. Dan saya berharap dari antara para pembela agama ada yang berani menunjukkan wajah Islam sebagai rahmat semesta seperti yang sering disematkan pada dirinya tersebut.


Di titik ini, ijinkan saya mengajukan pertanyaan yang paling diandalkan: Apakah Saya Muslim?


Kalau merasa Islam benar-benar, silahkan mempertanyakan diri sendiri.

Jual Tenun & Batik Rose's Papua
kata bijak motivasi singkat cinta kehidupan mutiara islami mario teguh sabar dalam kisah nyata


Pemesanan:

082-135-424-879/WA
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mayat-Mayat Pecinta Allah Bertumbangan Ketika Shalat Jumat"

Post a Comment