The Message of The Qu'ran: Summa Theologica dan Aristoteles
“Tanpa
rasio, manusia batal sebagai manusia”
Hal paling keren dari Facebook adalah memungkinkan saya bertemu siapa saja -secara acak- dan lalu memilih dengan siapa saya akan berbagi waktu secara bermakna. Salah seorang di antaranya adalah mas Abad Badruzaman, orang Islam terpelajar yang saya sukai pola pikirnya.
Facebook
juga punya keistimewaan lain, semacam daya tarik-penarikan (Law of Attraction) yaitu membantu saya
menarik keberlimpahan menghampiriku. Saya membuka ruang perjumpaan secara acak
dalam rangka memperbesar serta memperluas kemungkinan interaksi. Ke dalam
semesta yang menyediakan kemungkinan-kemungkinan ini, saya menitip pesan dan kesediaan bertemu dengan pihak-pihak yang serius menambahkan
kecerdasan dan perdamaian ke dalam jagat sosial media – lintas SARA.
Begini ceritanya. Saya
sedang mempelajari Summa Theologica, mahakarya St. Thomas Aquinas, teolog-pujangga Gereja Katolik (1225-1274) yang mengkristalkan sekaligus menyoal
intisari penalaran iman Kristen. Dalam bukunya, dia hendak menjelaskan awal,
pola kerja dan tujuan dari alam semesta dan bagaimana setiap aspek di dalamnya
berperan mewujudkan pencapaian tujuan tadi, yaitu keselamatan abadi.
Thomas Aquinas tidak bekerja
sendirian. Ia menggunakan pendekatan Aristoteles, filsut besar Yunani kuno,
yang sangat menekankan penjelasan rasional, obyektif dan empirik (indrawi).
Rasionalitas
Aristoteles mengandung kisah nyata tentang hubungan Kristen dan Islam yang
indah. Kekristenan berdiri di atas Kekaisaran Romawi yang mewarisi peradaban
Yunani klasik yang tersohor dengan Perpustakaan Alexandria (Mesir), kolektor sejuta
judul yang dikumpulkan dari berbagai penjuru dunia. Dalam perjalanan sejarah, Kekristenan
terbagi menjadi Kekaisaran Barat (Roma) dan Kekaisaran Timur (Konstantinopel
atau Istambul, Turki).
Terbelahnya dunia
Kristen seakan membelah pula warisan peradaban. Kristen Roma semakin kurang
mengenal dunia klasik termasuk Aristoteles, hanya secuil saja. Sebaliknya,
Kristen Timur kian menjadi bagai Yunani, mengingatkan sejarah pendiriannya oleh
orang-orang Yunani kuno (abad 7 SM) di bawah pimpinan Raja Byzas (yang
mendirikan Byzantium).
Dunia Islam yang muncul
belakangan mendapatkan sebagian besar pemikiran dan tulisan serta
komentar-komentar tentang Aristoteles (dan berbagai karya klasik lainnya) dari Kekaisaran
Roma Timur. Sarjana-sarjana Islam dengan antusias mempelajari, menerjemahkan,
mengomentari dan menerapkan pikiran rasional Aristoteles di segala bidang.
Memasuki abad ke-12, di
tengah-tengah kecamuk perang salib, orang-orang Kristen Barat menemukan kembali
Aristoteles, bukan lewat pedang melainkan sebagai pertukaran budaya dengan
orang-orang Islam.
Reading the message of the Qu'ran |
Cinta akan ilmu pengetahuan dan gairah membangun peradaban akhirnya
mempertemukan Barat dan Timur sekali lagi. Aristoteles yang bersemanyam dalam
bahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, bahasa resmi dunia Kristen
saat itu.
Capaian peradaban Yunani klasik diseberangkan bolak-balik antara timur dan barat atas dasar kegairahan
intelektual dan upaya pencarian akan kebenaran, keindahan dan keadilan.
Fakta-fakta sejarah ini,
bagi saya, jauh lebih menarik daripada mempertengkarkan apakah agama Kristen atau
Islam yang lebih benar. Saya tergelitik ingin tahu bagaimana dan mengapa
Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang praktis tidak menganut agama formal
apapun, ternyata salah satu ‘guru rasionalitas’ dengan jejak sejarah (arketip)
yang dalam mendekam sehingga Kristen dan Islam, secara intelektual, kejiwaan
bahkan (penalaran) iman, sebenarnya (minimal pernah) satu bapak kandung!
Saya gelisah bertanya, "What is the message of the historical facts, apakah pesan yang hendak disampaikan fakta-fakta sejarah?
Pembicaraan kita bukan
hanya sebatas sains, kedokteran, filsafat, logika, ilmu bahasa, etika atau estetika,
bidang-bidang yang kuat dipengaruhi Aristotelian, melainkan hingga bagaimana menalar,
mengaplikasikan dan bertanggung-jawab atas iman kita. Semua ini mungkin asalkan
kita berani mengaktifkan akal atau rasio, yang dalam kata kata Thomas Aquinas
merupakan cinta dan anugerah terindah dari Allah. Tanpa rasio, manusia batal sebagai manusia.
Saya ingin mengutip
kata kata mutiara dari mulut Ali Ibn Thalib bahwa kita boleh beda iman namun bersaudara
dalam kemanusiaan. Thomas Aquinas menggaungkan kembali hal ini. Summa
Theologica adalah puncak kegeniusan yang memperdamaikan rasionalitas dan iman
dengan memakai Aristoteles yang telah dijaga selama berabad-abad oleh para
pemikir Islam.
Saya didera ketakjuban kala
merenungkan kisah nyata bersejarah ini. Rasanya malu belum cukup menyelami kecerdasan
orang-orang yang telah membuktikan bahwa kemanusiaan tidak mengenal sentimen SARA. Saya
memutuskan lebih menggiatkan diri untuk proses membaca atau katakanlah, iqra.
Kembali saya bertanya, "What is the message of the historical facts, apakah pesan yang hendak disampaikan fakta-fakta sejarah?
Adalah kebiasaan saya
untuk mengalokasikan waktu membaca yang saya sebut 'akta pendirian' yaitu
buku-buku (termasuk karya sastra atau artikel jurnal) yang mengguncang dan
menjadi dasar pendirian atau memuncaki suatu pemikiran. Saya tahu diriku ingin
mencecap pikiran St. Thomas Aquinas sepuasnya seraya menemukan jejak-jejak Aristoteles.
Saya
ingin mengelana lintas SARA dan merangkai mutiara-mutiara pemikiran dalam tiga tradisi besar ini. (Baca juga: Mutiara Sholat dan Ngaji)
Aristoteles di dalam rasionalitas
Kristen dan Islam makin menarik bagi saya. Sebelum Summa Theologica, saya
sempat berkelana ke dalam mahakarya lainnya, Muqaddimah, oleh pemikir-pujangga
Muslim, Ibnu Khaldun. Saya hanya bisa menarik nafas, campuran kagum, terkesima
dan gelisah. Boleh dibilang, saya gelisah bukan kepalang.
Bersambung...
Pemesanan:
0 Response to "The Message of The Qu'ran: Summa Theologica dan Aristoteles"
Post a Comment