Bahasa Indonesia, Riwayatmu Kini

Sidang Ahok berimplikasi serius pada bahasa Indonesia dan proses penalaran anak-anak bangsa.

Pakar bahasa menegaskan bahwa secuil kalimat aka kata-kata Al Maida 51 dalam pidato Ahok di Kep. Seribu yang ditengarai telah menggoyahkan iman jutaan orang itu secara struktur, substansi dan konteks sama sekali tidak bisa dimaknai bermaksud menistakan seperti yang dituduhkan berulang ulang.

Dengan pengetahuan dasar akan S-P-O (Subyek-Predikat-Obyek) dan konteks pemaknaan, kebanyakan orang sekolahan mestinya paham bahwa MEMANG tidak ada permusuhan dan penistaan apapun di ‘kata-kata dalam kalimat’ yang merupakan bagian dari pidato sejam lebih tersebut.

Konyolnya hakim Ahok justru mengembalikan dakwaan primer dan mengatakan Ahok menista secara sah dan meyakinkan. Pendapat pakar bahasa dan lainnya yang meringankan sepenuhnya dikesampingkan malahan ditambah stigma bahwa Ahok tidak menunjukkan penyesalan (sepenuhnya tidak benar) dan menimbulkan atau penyebab keresahan (sepenuhnya tidak benar)

Sesat pikir sangat telanjang. Tidak dibutuhkan ‘otak besar’ untuk melihatnya.

Ahok sudah berkali-kali meminta maaf, semua orang juga tahu. Tidak kurang dari ulama-ulama bijak-kosen seperti Gus Mus, Aqiel Siradj dan Buya Maarif memaafkan dan meminta umat Islam memberi kata maaf. Di tingkat akar rumput, banyak sekali masyarakat beragama Muslim yang menerima Ahok-Djarot tanpa ragu-ragu.

Begitu pun menyangkut keresahan yang menjadi faktor memberatkan dalam amar keputusan hakim Ahok. Benarkah kemarahan publik karena dan karena pidato Ahok di Kep. Seribu tersebut? Faktanya, gelombang unjuk rasa  SUDAH berlangsung sejak awal Ahok-Jokowi naik ke tampuk DKI Jakarta dan mengalami 'intensitas mencengangkan' jelang Pilkada DKI Jakarta. Siapapun yang mau berpikir sejenak pasti bisa melihat keterkaitannya.

Sidang Ahok juga mengesampingkan berbagai indikasi yang mengaitkan tuntutan di jalan-jalan dengan Pilkada DKI. Semua juga paham kalau kubu Anies-Sandi masif melancarkan berbagai isu SARA dan mengkampanyekannya di masjid-masjid.

Hal ini dikonfirmasi fakta survei yang mengungkap bahwa 83% warga BELUM PERNAH menonton video pidato Ahok di Kep. Seribu. Bahkan sekelas (pejabat) MUI --yang dibela mati-matian oleh kelompok pembela fatwa MUI yang katanya tidak diakui/tidak merepresentasikan MUI tetapi, konyolnya, sejumlah petinggi MUI justru duduk di situ dan sepenuhnya mendukung-- ternyata tidak menonton!
kata kata bijak, kata kata mutiara, kata kata cinta, kisah nyata
Ahok dan Merah Putih di  persidangan
Mereka marah, mereka teriak 'penjarakan Ahok', semata karena masifikasi kata-kata ‘Ahok menista agama’.

Keputusan hakim (potensial) MERUSAK bahasa Indonesia, proses penalaran dalam proses berbahasa, proses pemaknaan dalam konteks; merusak pola persepsi, prinsip etis dalam berpikir dan berargumentasi. Dan tentunya, keputusan hakim belum mencerminkan rasa keadilan.

Sekarang ini banyak anak bangsa berpikir bahwa Ahok sudah final bersalah padahal langsung naik banding. Banyak berpikir bahwa Ahok dipenjara bahkan langsung ditahan karena menista dan orang Kristen memang sukanya menista orang Islam. Banyak berpikir asal menyinggung ayat saja penistaan meskipun tiap hari orang-orang yang ia puja justru terang-terangan menista agama-agama lain.

Kondisi di tingkat akar rumput, gesekan dan permusuhan, sangat memprihatinkan dengan tingkat kerusakan yang sifatnya multi dimensi.

Telah lahir –dengan selamat- generasi POKOKNYA SALAH. Persetan akal sehat dan rasa keadilan. Persetan rasa malu. Persetan fakta-fakta di pengadilan. Agama saya dinista, titik! Tak usah menonton video lengkap, tak usah proses pemaknaan seturut kaidah berbahasa, logika dan konteks.

Bahasa Indonesia seperti bukit hijau dipapas gundul, atau sungai yang ditimbun pasir dan kerikil, dipaksa mendangkal. Kapasitas berpikir dibonsai sebab fungsi berbahasa alih fungsi, bukan lagi alat komunikasi, berpikir dan merasa.

Bahasa Indonesia telah menjadi 'substansi' kemarahannya (ada yang dengan bangga mengatakan bagai tawon buntet) --bukan alat mengargumentasikan kemarahannya-- kapan saja aka pokoknya saat saya merasa dizolimin.

Hari-hari ini, saat kita berinteraksi, berkomunikasi, bahasa Indonesia terasa menurun secara kualitas bahkan kuantitas.

Banyak kosa kata 'nganggur', dipensiun dini, karena sebagian orang lebih merasa keren bila mengeluarkan kata-kata sebagai berikut: Kafir! Bangsat! Babi Kutil! Dasar Minoritas! Bunuh! Penista! Cina! Jokowi PKI! Revolusi! (baca juga: Agama Setan)

Saya kuatir -lima tahun lagi- sebuah kisah nyata akan diceritakan dengan keheranan besar bagaimana Indonesia merepresentasikan bahasa paling dangkal sejagat. Dan kita terpekur, menangis, berbisik ‘oh, bahasa Indonesia, riwayatmu kini’.



Pemesanan:

082-135-424-879/LINE/SMS
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bahasa Indonesia, Riwayatmu Kini"

Post a Comment