Bahasa Indonesia, Riwayatmu Kini
Sidang Ahok berimplikasi
serius pada bahasa Indonesia dan proses penalaran anak-anak bangsa.
082-135-424-879/LINE/SMS
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi
Pakar bahasa menegaskan
bahwa secuil kalimat aka kata-kata Al Maida 51 dalam pidato Ahok di Kep. Seribu
yang ditengarai telah menggoyahkan iman jutaan orang itu secara struktur,
substansi dan konteks sama sekali tidak bisa dimaknai bermaksud menistakan
seperti yang dituduhkan berulang ulang.
Dengan pengetahuan
dasar akan S-P-O (Subyek-Predikat-Obyek) dan konteks pemaknaan, kebanyakan
orang sekolahan mestinya paham bahwa MEMANG tidak ada permusuhan dan penistaan apapun
di ‘kata-kata dalam kalimat’ yang merupakan bagian dari pidato sejam lebih
tersebut.
Konyolnya hakim Ahok justru
mengembalikan dakwaan primer dan mengatakan Ahok menista secara sah dan
meyakinkan. Pendapat pakar bahasa dan lainnya yang meringankan sepenuhnya
dikesampingkan malahan ditambah stigma bahwa Ahok tidak menunjukkan penyesalan
(sepenuhnya tidak benar) dan menimbulkan atau penyebab keresahan (sepenuhnya
tidak benar)
Sesat pikir sangat
telanjang. Tidak dibutuhkan ‘otak besar’ untuk melihatnya.
Ahok sudah berkali-kali
meminta maaf, semua orang juga tahu. Tidak kurang dari ulama-ulama bijak-kosen
seperti Gus Mus, Aqiel Siradj dan Buya Maarif memaafkan dan meminta umat Islam memberi kata
maaf. Di tingkat akar rumput, banyak sekali masyarakat beragama Muslim yang
menerima Ahok-Djarot tanpa ragu-ragu.
Begitu pun menyangkut keresahan yang menjadi faktor memberatkan dalam amar keputusan hakim Ahok. Benarkah kemarahan publik karena dan karena pidato Ahok di Kep. Seribu tersebut? Faktanya, gelombang unjuk rasa SUDAH berlangsung sejak awal Ahok-Jokowi naik ke tampuk DKI Jakarta dan mengalami 'intensitas mencengangkan' jelang Pilkada DKI Jakarta. Siapapun yang mau berpikir sejenak pasti bisa melihat keterkaitannya.
Begitu pun menyangkut keresahan yang menjadi faktor memberatkan dalam amar keputusan hakim Ahok. Benarkah kemarahan publik karena dan karena pidato Ahok di Kep. Seribu tersebut? Faktanya, gelombang unjuk rasa SUDAH berlangsung sejak awal Ahok-Jokowi naik ke tampuk DKI Jakarta dan mengalami 'intensitas mencengangkan' jelang Pilkada DKI Jakarta. Siapapun yang mau berpikir sejenak pasti bisa melihat keterkaitannya.
Sidang Ahok juga mengesampingkan
berbagai indikasi yang mengaitkan tuntutan di jalan-jalan dengan Pilkada DKI. Semua
juga paham kalau kubu Anies-Sandi masif melancarkan berbagai isu SARA dan mengkampanyekannya
di masjid-masjid.
Hal ini dikonfirmasi
fakta survei yang mengungkap bahwa 83% warga BELUM PERNAH menonton video pidato
Ahok di Kep. Seribu. Bahkan sekelas (pejabat) MUI --yang dibela mati-matian
oleh kelompok pembela fatwa MUI yang katanya tidak diakui/tidak
merepresentasikan MUI tetapi, konyolnya, sejumlah petinggi MUI justru duduk di
situ dan sepenuhnya mendukung-- ternyata tidak menonton!
Mereka marah, mereka teriak 'penjarakan Ahok', semata karena
masifikasi kata-kata ‘Ahok menista agama’.
Keputusan hakim (potensial) MERUSAK
bahasa Indonesia, proses penalaran dalam proses berbahasa, proses pemaknaan
dalam konteks; merusak pola persepsi, prinsip etis dalam berpikir dan
berargumentasi. Dan tentunya, keputusan hakim belum mencerminkan rasa keadilan.
Sekarang ini banyak
anak bangsa berpikir bahwa Ahok sudah final bersalah padahal langsung naik
banding. Banyak berpikir bahwa Ahok dipenjara bahkan langsung ditahan karena
menista dan orang Kristen memang sukanya menista orang Islam. Banyak berpikir
asal menyinggung ayat saja penistaan meskipun tiap hari orang-orang yang ia
puja justru terang-terangan menista agama-agama lain.
Kondisi di tingkat akar rumput, gesekan dan permusuhan, sangat memprihatinkan dengan tingkat kerusakan yang sifatnya multi dimensi.
Telah lahir –dengan selamat-
generasi POKOKNYA SALAH. Persetan akal sehat dan rasa keadilan. Persetan rasa
malu. Persetan fakta-fakta di pengadilan. Agama saya dinista, titik! Tak usah
menonton video lengkap, tak usah proses pemaknaan seturut kaidah berbahasa,
logika dan konteks.
Bahasa Indonesia seperti
bukit hijau dipapas gundul, atau sungai yang ditimbun pasir dan kerikil,
dipaksa mendangkal. Kapasitas berpikir dibonsai sebab fungsi berbahasa alih
fungsi, bukan lagi alat komunikasi, berpikir dan merasa.
Bahasa Indonesia telah
menjadi 'substansi' kemarahannya (ada yang dengan bangga mengatakan bagai tawon
buntet) --bukan alat mengargumentasikan
kemarahannya-- kapan saja aka pokoknya saat saya merasa dizolimin.
Hari-hari ini, saat
kita berinteraksi, berkomunikasi, bahasa Indonesia terasa menurun secara
kualitas bahkan kuantitas.
Banyak kosa kata
'nganggur', dipensiun dini, karena sebagian orang lebih merasa keren bila mengeluarkan
kata-kata sebagai berikut: Kafir! Bangsat! Babi Kutil! Dasar Minoritas! Bunuh!
Penista! Cina! Jokowi PKI! Revolusi! (baca juga: Agama Setan)
Saya kuatir -lima
tahun lagi- sebuah kisah nyata akan diceritakan dengan keheranan besar bagaimana Indonesia merepresentasikan bahasa paling dangkal sejagat.
Dan kita terpekur, menangis, berbisik ‘oh, bahasa Indonesia, riwayatmu kini’.
Pemesanan:
082-135-424-879/LINE/SMS
5983-F7-D3/BB
Inbox Rudy Ronald Sianturi
0 Response to "Bahasa Indonesia, Riwayatmu Kini"
Post a Comment